Kita hidup di dunia yang paradoks, banyak hal justru semakin diminati, karena ia kehilangan muatan utamanya. Misalnya; sekolah tanpa pendidikan, pemimpin tanpa kepemimpinan. Manusia kian kehilangan kendali atas dirinya, tak mampu membedakan mana hal-hal yang substansial, mana yang boleh diabaikan, tidak penting atau bahkan fake. Terjebak dalam fenomena-fenomena yang mengepungnya, tanpa bisa menyingkap logika dibaliknya. Eksistensi dan esensi manusia seolah tercabut dari akarnya dan menjadi hampa nilai, minim spiritualitas, miskin falsafah, kering ideologi. Padahal manusia adalah salah satu isi utama dari alam semesta, dan alam semesta adalah induk dari falsafah kebenaran sejati.
REVOLUSI KEPEMIMPINAN
Eksistensi manusia sebagai makhluk paling mutakhir
merupakan investasi terbesar alam semesta. Dengan kemampuan berpikirnya, seharusnya
keberadaan manusia berbanding lurus dengan kemakmuran, keadilan, kedamaian dan
kesejahteraan baik dalam kehidupan manusia sendiri maupun alam semesta. Atau
dalam bahasa hikmah “menjadi berkat bagi
semesta alam”. Ketika yang terjadi berbanding terbalik, maka sudah
semestinya manusia mempertanyakan, menggugat eksistensi dan esensi keberadaan manusia
serta kepemimpinannya untuk kemudian mengkontruksinya kembali dalam perspektif
yang holistik.
Secara garis besar ada setidaknya 5 faktor yang
menjadi tantangan yang sedang dan akan dihadapi manusia yaitu :
- Tingkat kerusakan moral manusia telah jatuh pada level paling memprihatinkan. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, mal pembuatan kebijakan publik demi kepentingan pribadi dan golongan, eksploitasi sumber daya alam, penindasan atas sumber daya manusia dan bangsa secara eksploitatif, kriminalitas dan lain-lain adalah refleksi atas rendahnya harkat dan martabat manusia yang diakibatkan oleh rusaknya moralitas dan spiritual manusia.
- Pragmatisme, nalar praktis dan kesempitan
berpikir telah sedemikian mengungkung cara berpikir dan bertindak manusia
sehingga menjadi cara berpikir dan bertindak yang sangat universal dalam
kehidupan manusia saat ini. Seolah manusia menjadi begitu tak berdaya
bahkan untuk sekedar berpikir, mempertanyakan, menggugat apalagi mengubah.
Potensi-potensi kemanusiaan seperti akal budi, keluhuran, kearifan,
kebijaksaan dan keadilan seperti terkubur dalam. Berpikir sesuatu “yang
seharusnya” menjadi hal yang sangat mewah karena begitu tertutupi oleh
“yang terjadi”. Padahal justru khas manusia dibanding makhluk lainnya
adalah pada kemampuannya berpikir tentang sesuatu yang ideal, sesuatu yang
seharusnya.
- Kesenjangan sosial yang sangat ekstrem menjadi
penanda paling otentik terhadap berlakunya ketidakadilan yang kian masif,
sistemik dan mengglobal. Saat ini 62 orang terkaya dunia mempunyai
kekayaan yang besarnya sama dengan kekayaan separuh penduduk dunia yang
termiskin. (Oxfam, oganisasi nirlaba yang didirikan di Oxford tahun 1942
dan fokus pada masalah-masalah memerangi kemiskinan dan ketidakadilan di
seluruh dunia). Jumlah penduduk dunia 7,3 milyar. Bayangkan, kekayaan 62
orang terkaya besarnya sama dengan kekayaan lebih dari jumlah kekayaan 3,6
milyar penduduk di lapisan terbawah.
- Revolusi teknologi, lompatan besar dalam
teknologi seperti artificial intelligence, robotics, the Internet of Things, Tesla, 3-D printing, nano-technology, bio-technology, energy storage, dan quantum computing telah
mengubah banyak hal. Dunia telah dipersatukan oleh teknologi. Sekat-sekat
antara geografis, dan bahkan budaya dirasa sudah kian kabur dan satu sama
lain seperti menjadi lebur.
- Ancaman Perang Dunia yang simultan dengan
pergeseran kekuatan ekonomi dunia dari Amerika-Barat ke China-Asia Timur
serta makin menipisnya cadangan energi dan pangan dunia yang sangat berkaitan
dengan kerusakan lingkungan dan alam.
Sintesis atas pelbagai fenomena, persoalan dan
tantangan di atas adalah sebuah sudut pandang, horizon atau cakrawala berpikir
diperlukannya Revolusi Kepemimpinan.
Revolusi
dipilih sebagai diksi, karena kata ini memiliki nuansa lebih menghentak untuk
mengajak berpikir, dan bergerak. Revolusi berakar pada kata Latin, revolutio, yang berarti berputar balik.
Kata ini lalu berkembang artinya menjadi perubahan politik dalam waktu singkat
dan drastis. Tujuannya membangun tata kelola politik dan ekonomi yang baru.
Maka pesan ini ditujukan bukan hanya pada para peminat politik dan filsafat,
tetapi juga pada semua orang yang merasa, bahwa Indonesia, dan juga dunia ini,
butuh perubahan yang cepat dan mendasar yaitu revolusi. Bukan revolusi sosial
politik yang seringkali memakan ongkos sosial besar serta berpotensi
ditunggangi kepentingan, namun revolusi kesadaran kepemimpinan. Hakekat
memimpin, tujuan memimpin, cara memimpin perlu dirubah secara fundamental
menurut falsafah kebenaran universal. Revolusi mempertanyakan, menggugat, lalu
mengubah, yaitu mengubah cara berpikir, cara berbahasa, cara bertindak dan cara
hidup pemimpin.
Pergumulan sejarah panjang manusia membuktikan bahwa
pemimpin dan kepemimpinan selalu menjadi isu sentral. Thomas Carlyle, penulis
satir dan esay juga sejarawan dari Skotlandia berpendapat, “No great man lives in vain. The history of
the world is but the biography of great men”. Tidak ada kehidupan
orang-orang besar yang sia-sia, dan mereka telah menyusun biografinya sendiri sebagai
sejarah dunia. Sejarah peradaban akan selalu berkelindan dengan sejarah
pemikiran para pemimpinnya yang membentuk corak dan warna kepemimpinannya.
Seperti dalam struktur tubuh manusia, yang mengontrol
seluruh tindakan adalah pikiran. Pikiran seperti pemimpin dalam struktur sosial
masyarakat. Maka merevolusi kesadaran masyarakat adalah merevolusi kesadaran
pemimpinnya. Itulah Revolusi Kepemimpinan.
0 Komentar