ULAS BUKU
Judul Buku : Ilusi Demokrasi : Kritik dan Otokritik
Islam
Penulis : Zaim Saidi
Penerbit : Pustaka Adina, 2016
Sebuah buku yang berani.
Ditengah hingar-bingar orang mabuk demokrasi bak
umat jaman jahiliah bangga menyembah berhala. Kondisi di mana mayoritas
penduduk bumi konon percaya, atau paling tidak “membiarkan” sistem demokrasi
mengatur hidup mereka yang tidak kunjung menuju idealitas yang diinginkan;
kemiskinan meraja lela, kematian akibat kelaparan mencapai ribuan perhari, eksploitasi
bumi yang merusak terjadi terus-menerus, perang antar negara terus terjadi,
pelanggaran ham di mana-mana, dan semua itu atas sepengetahuan pemimpin
negara-negara demokrasi. Buku ini hadir memberi kritikan pedas.
Tulisan ini dapat dikatakan sebagai semacam
deskripsi sekilas isi buku tanpa bermaksud merangkum secara mewakili bab demi
bab. Maka jika aktifis mahasiswa ’98 Fauzan Santa menuduh resensi dan forum
bedah buku adalah “kejahatan” terhadap buku karena banyak pembaca atau peserta
kemudian merasa sudah mengerti isi buku tanpa membacanya, semoga, tulisan ini
membuat pembaca penasaran dan ingin tahu kelengkapan potongan-potongan
informasi yang tersaji.
Sebagai sebuah kritik Zaim ingin mengatakan bahwa
demokrasi yang ada hanyalah alat bagi kapitalis global berkuasa dan menghisap
kekayaan negara-budak. Sistem yang menyihir itu menjadi negara-bangsa kehilangan otoritas.
Kebijakan pemerintahan demokrasi tak lebih dari menjalankan keputusan dan
kepentingan kekuatan oligarkhi bankir internasional atau kapitalis global.
Kapitalisme adalah sistem yang dibangun di atas fondasi riba dan menjadikan
riba sebagai doktrin yang absolut.
Lalu bagaimana dengan sosialis? Bagi penulis,
sosialisme adalah kapitalisme dalam versi lain, yakni kapitalisme negara (state
capitalism). Kapitalisme dalam negara modern telah ditetapkan dalam tiap
konstitusi dengan elemen utama di dalamnya berupa sistem bank sentral, uang
kertas, dan pajak.
Sebagai otokritik Islam penulis ingin menggugah
kesadaran bahwa upaya modernisasi Islam yang ‘mulia’ itu kini telah berbuah
pemosisian umat Islam di ketiak kapitalis. Celakanya umat merasa benar dengan
posisi itu, tidak ada yang salah dengan sistem keuangan dunia. Alih-alih
mengkritisi dan mencari solusi, umat islam malah melabeli praktek penghisapan
dengan kata ajaib: SYARIAH.
Pengharaman riba yang dijalankan bank
konvensional dan penghalalan praktik perbankan syariah oleh ulama Islam
Indonesia bagi Zaim bukanlah kesuksesan modernisme Islam, justru sebaliknya
menjerumuskan umat ke mulut kapitalis global.
Pada masa awal kemunculannya uang kertas sebagai
surat hutang yang diperjual belikan adalah sudah haram meski jelas dibackup
dengan emas. Namun paska tahun 1973 di mana untuk mencetak uang tidak harus
dengan modal emas atau dicipta dari ruang hampa, maka jelas sekali haramnya.
(Hlm.50)
Lembaran kertas yang diberi angka dan legitimasi
politik kemudian bisa ditukar dengan barang apa pun. Dipinjamkan kepada
negara-negara untuk tidak dapat dilunasi dan menjadi alat penghisap yang
sempurna dan legal. Maka bagi Zaim bank syariah—apapun bentuk operasi yang ada
di dalamnya—hanyalah kepanjangan tangan dari pendzaliman yang haram hukumnya.
Sebagai kelanjutan buku Zaim sebelumnya, Tidak Sar’inya Bank Syariah, buku ini
menguraikan bagaimana umat Islam mungkin keluar dari apologi “keterpaksaan”
atau darurat. Bahwa ada jalan yang bisa ditempuh dari sekedar menjadi
kepanjangan tangan kedzaliman dengan label syariah. Umat bisa
mandiri meski baru di sebagian segi keberagamaan yakni zakat. Studi terhadap
praktek zakat di Afrika Selatan membuahkan kesimpulan kemungkinan itu bisa
dilakukan di negara lain.
Bagi sebagian umat Islam, zakat hanya dapat
terselenggara secara sah tidak hanya adanya umat yang akan bersazakat dan
penerima, tetapi ada pengelola zakat yang dilakukan oleh pemimpin umat atau
yang ditunjuknya. Tidak sah seorang atau sekelompok orang menunjuk dirinya
sebagai amil zakat lalu mengumpulkan dan membagikannya tanpa ditunjuk oleh
pemimpin umat entah itu Nabi, Khalifah, Amir, Imam, dan sebagainya.
Umat Islam di Cape Town, Afrika Selatan berupaya
untuk merestorasi cara hidup Islami sebagai jalan keluar atas persoalan yang
ditimbulkan oleh modernitas. Model yang mereka tempuh adalah 'amal Madinah,
yakni perilaku penduduk Madinah, dari generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiit
Tabi’in. Solusi Islam adalah menghidupkan kembali muamalat,restorasi zakat,
pasar terbuka, wakaf, kontrak-kontrak bisnis syirkat dan qirad, juga penggunaan
dinar emas dan dirham perak.
Membaca buku ini membuat kita tergugah dari
keterhanyutan di arus kehidupan serba materi dan memberhalakan uang. Sebuah
upaya “desakralisasi” negara fiskal demokrasi dan perlawanan atas absolutnya
hegemoni uang kertas beserta turunannya yang menghisap secara legal dan sah di
hampir seluruh pelosok bumi. Dan kekompakan ulama Islam untuk mengamini praktek
dzalim perbankan bagi Zaim, adalah puncak modernisasi Islam yang menipu.
Selamat membaca!
0 Komentar