Bangsa Indonesia segera akan tiba
pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri
sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam
dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan.
Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau-ranjau untuk mencelakakan anak cucu
kita sendiri kelak.
Masing-masing yang sedang bertengkar
memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya masing-masing. Dan tidak
perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempersalahkan
pihak yang ini atau yang itu. Minimal untuk sementara, ada baiknya menghindari
‘kenikmatan’ menuding “siapa yang salah”. Sebab kalau salah benar diposisikan
pada subjek, kemudian yang ditegakkan adalah pro dan kontra pihak-pihak, maka
semua akan terjebak situasi-situasi subjektif: kalau kita “pro” suatu pihak,
maka ia “benar 100%”. Kalau kita “kontra” suatu pihak, maka ia “salah 100%”.
Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir.
Produknya adalah kita bermasalah
terhadap dua hal: pertama, anak cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah
“kebenaran melawan kebenaran” dan “kebaikan melawan kebaikan”. Kedua, kita
mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri, sebab “setiap orang dan pihak
ada benarnya ada salahnya”. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah absolut.
Meskipun pahit dan tidak nyaman,
tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang
salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang
salah”. Itu meminta pengorbanan pada harga diri subjektif masing-masing. Sebab
keselamatan sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran, kejernihan, dan kejantanan
untuk saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran orang lain.
Berpikir, Bersikap dan Bertindak NKRI
Yang saya maksud “puncak eskalasi pertengkaran”
adalah segera akan muncul adegan di panggung di mana “yang kuat mengalahkan
yang lemah”. Seseorang mungkin akan menang di Pengadilan maupun di Pemilihan.
Sebelum itu, faktor-faktor yang dianggap kontra-produktif terhadap kemenangan
itu, mungkin akan dipastikan untuk dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan,
dibubarkan, diberangus atau dikebiri, minimal dieliminir.
Mungkin yang bisa terjadi adalah
letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih mendalam untuk masa depan
pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang muncul adalah: apa hebatnya
bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia? Kalau dalam hidup ini memang
harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, apakah itu juga berlaku untuk sesama
bangsa Indonesia? Itukah makna nilai Bhinneka?
Kalau belajar dari filosofi Jawa:
kegaduhan yang sekarang terjadi adalah “Sopo siro sopo ingsun” (siapa
kamu siapa aku, emangnya kamu siapa!). Salah satu outputnya adalah “adigang
adigung adiguna” (sok kamu ini, saya lindas!). Konstelasi dikotomisnya
adalah “Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah “Putih melindas Hitam”.
Persoalannya: masing-masing merasa, yakin, dan memiliki argumentasi bahwa ia
adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil, sehingga mendahului untuk
memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari oleh Hitam,
sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas juga meyakini
bahwa ia adalah “Habil yang dibunuh Qabil” dan “Putih yang diberangus oleh
Hitam”.
Mana Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil
maupun Qabil adalah putra-putranya sendiri. Adam Hawa tidak berpikir bahwa
Qabil adalah musuhnya, meskipun ia mengancam putranya yang lain. Yang mengancam
dan diancam sama-sama anaknya. Adam Hawa mempelajari keduanya dengan sabar.
Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang dipilih bukan membunuh
Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil.
“Positioning Adam” adalah
berpikir dan bersikap NKRI. Kalau PDIP ada di latar belakang kekuasaan NKRI,
maka diri PDIP adalah diri NKRI. PDIP mendayagunakan energinya untuk NKRI,
bukan mengeksploitasi NKRI untuk PDIP. Siapapun saja yang duduk di
Pemerintahan, dirinya adalah diri NKRI. Subjek primer di dalam kesadarannya
adalah NKRI. Maka demikianlah pula berpikir dan bersikap, serta pengambilan
keputusan tindakan-tindakannya.
Bu Mega menghindari kosakata politik
praktis. Tidak perlu menyebut kata “ideologi tertutup”, “makar”, cukup
membatasi diri pada kata-kata kasih sayang, pengayoman, ekspresi keIbuan. Yang
sedang mengemban amanat di Pemerintahan membersihkan hatinya dari paranoia merasa
diancam, sehingga tidak menyimpulkan bahwa apa yang tidak sejalan dengan dia
adalah musuh. Bahwa yang tidak sependapat adalah makar. Ia dan jajarannya
dilantik untuk memprimerkan Bhinneka Tunggal Ika, bukan memelihara, mempertajam
dan meraya-rayakan Bhinneka. Padahal tugasnya adalah mentunggal-ikakan
Bhinneka.
Yatim Piatu Tiada Tara
Bangsa Indonesia adalah anak yatim
piatu. Tidak punya Bapak yang disegani dan tidak ada Ibu yang dicintai. Saya
coba menjelaskan hal ini melalui dua terminologi. Pertama, ketika lahir,
NKRI memang lebih berpikir “membikin sesuatu yang baru” dan kurang berpikir
“meneruskan yang sudah ada sebelumnya”. Kita memilih “Sejarah Adopsi” dan tidak
merasa perlu menekuni “Sejarah Kontinuasi”. Kita dirikan “Negara” dan
“Republik” dengan mengadopsi prinsip, tata kelola, sistem nilai, hingga
birokrasi dan hukum.
Kita meneruskan “mesin Belanda”
meskipun dengan memastikan pengambilalihan kepemilikan. Kita tidak mengkreatifi
kemungkinan formula yang otentik hasil karya kita sendiri yang merupakan
kontinuitas-kreatif dari apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Sejak
merdeka kita memang seolah-olah “sengaja” meninggalkan orangtua kita sendiri.
Padahal Belanda sendiri, juga banyak Negara-negara Eropa lain, tetap berpijak
pada Kerajaan “orangtua” mereka. Fakta yang itu justru tidak kita adopsi.
Juga tidak belajar kepada Majapahit,
umpamanya. Kencanawungu atau kemudian Hayam Wuruk adalah Kepala Negara, Gajah
Mada adalah Perdana Menteri. Kepala Negara bikin kebijakan dan sistem kontrol,
Perdana Menteri berposisi eksekutif dalam kontrol Negara. Hari ini Kepala
Pemerintahan kita adalah juga Kepala Negara. MK, KY, KPK, dll adalah lembaga
Negara, tapi faktanya mereka berlaku sebagai lembaga Pemerintah, karena Bangsa
Indonesia tidak merasa perlu membedakan antara Negara dengan Pemerintah.
Negara adalah Bapak, Tanah Air
adalah Ibu (Pertiwi). Negara adalah Keluarga, Pemerintah adalah Rumah Tangga.
Manajemen Rumah Tangga adalah bagian dari manajemen Keluarga. PNS yang diganti
namanya menjadi ASN, tidak beralih kesadaran bahwa mereka adalah abdi Negara,
yang patuh kepada Undang-Undang Negara. Bukan abdi Pemerintah, yang taat kepada
atasan. Kalau anak merasa ia adalah Bapak yang memiliki dan menguasai Ibu, maka
sangat banyak pertanyaan yang mencemaskan atas NKRI hari ini dan di masa depan.
Sekarang anak-anak sedang nikmat
bertengkar, tidak ada Bapak yang mereka segani, tidak ada Ibu yang mereka
cintai. Keluarga kita menjadi sangat rapuh, dan para tetangga mengincar kita,
menginflitrasi kita, menusuk masuk ke tanah dan jiwa kita, menggerogoti hak
milik kita untuk dijadikan milik mereka.
Anak-anak gugup siang malam, tidak
punya waktu yang tenang untuk merumuskan ketepatan pemahaman tentang
nasionalisme NKRI, tentang SARA, tentang apa itu Agama sebenarnya. Justru semua
itu dijadikan bahan pertengkaran tanpa henti-hentinya. Anak-anak saling
men-Qabil dengan merasa Habil. Bangsa Indonesia yatim piatu tiada tara.
Indonesia (Kehilangan) Pusaka
Kedua, di antara Bapak Ibu bangsa
Indonesia yang Jawa memberi pesan tentang “Sandang Pangan Papan”, “Keris Pedang
Cangkul”, “Gundul Pacul”, “Kawula Gusti”, dlsb. Pasti banyak sekali juga
pesan-pesan dari nenek moyang Yang Sunda, Yang Minang, Yang Bugis, Yang Batak,
Yang Sasak, Yang Madura dan ratusan lainnya — yang setelah merdeka semua itu
kita sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita lupakan. Itu menyebabkan
sekarang kita tidak lagi punya “pusaka”, dalam dimensi kejiwaan bangsa maupun
dalam penerapan tata sistem, konstitusi dan hukum pengelolaan kebersamaannya.
Sandang
Pangan Papan tidak bisa
dibalik. Lebih baik tidak makan asal tetap berpakaian. Bukan program makan
melimpah dan tak apa telanjang karena pakaiannya dijual, karena martabat dan
harga diri digadaikan. Manusia dipinjami hak milik oleh Tuhan: nyawa, martabat
dan harta benda. Negara dan Pemerintah bertugas menjaga nyawa, martabat dan
harta benda rakyatnya. Orang korupsi tidak terutama kita sesali hilang
hartanya, tetapi kita prihatini kehancuran martabat hidup koruptornya. Demikian
juga setiap langkah Negara dan Pemerintah: skala prioritasnya adalah nyawa,
kemudian martabat, lantas harta benda.
Keris Pedang
Cangkul sangat jelas. Rakyat pegang cangkul
mencari penghidupan. Pemerintah pegang pedang untuk menjaga keamanan sawah yang
dicangkul oleh rakyat. Pejabat tidak boleh menggunakan pedang untuk mencangkul.
Pejabat dan pegawai bukan profesi, bukan alat mencari nafkah, sebab penghidupan
mereka dijamin oleh Negara. Sementara Negara adalah keris, adalah Pusaka, ia
perbawa, aura, hati nurani, ia “kasepuhan”, ia seperti Bapak Sepuh yang kita
cium tangan dan lututnya. Karena beliau sudah merdeka dari nafsu terhadap harta
benda dan keduniaan. Itu yang bangsa Indonesia sekarang tidak punya dan tidak
sadar untuk merasa perlu punya.
Gundul Pacul, anak-anak hapal sampai sekarang.
Pemerintah bertugas “nyunggi wakul”, memanggul bakul kesejahteraan
rakyat, isinya harus disampaikan ke rakyat. Jangan sambil jalan ke rumah rakyat
diambili sendiri isi bakul itu. Apalagi sampai menjual bakul-bakul ke tetangga.
Negara mengontrol dan siap menghukum mereka. Tapi Bangsa Indonesia sedang tidak
punya Negara kecuali hanya namanya, yang berdiri di depan hanya Pemerintah.
Itupun tidak terdapat tanda bahwa
prinsip Ki Hadjar Dewantara, pahlawanan nasional dan Bapak Pendidikan Nasional,
dilaksanakan. Kita semakin tidak belajar kepada beliau. Karir adalah “ing
ngarsa sung tulada”, berdiri paling depan untuk memberi teladan. Kemudian
meningkat “ing madya mangun karsa”, menyatu dengan rakyat saling dukung
mendukung dan menyebar motivasi. Puncak karier adalah “tut wuri handayani”.
Orang besar bangsa Indonesia adalah yang berani dan ikhlas berada di barisan
paling belakang, mendorong rakyat untuk terus maju dan berjuang.
Kerajaan dan Sebab Akibat
Yang di awal tulisan ini saya sebut
sebagai “puncak eskalasi pertengkaran” adalah jika Pemerintah, yang bertindak
atas nama Negara, menerapkan “ing ngarsa sung kuwasa”: berdiri paling depan
dengan kekuasaan untuk menguasai, dan dengan kekuatan untuk mengalahkan.
Kawula Gusti. Posisi manusia itu “ngawula” atau
menghamba. Maka Sila-1 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk
menghamba ke Tuhan. Dalam peradaban Kerajaan, Raja diverifikasi, dikwalifikasi
kemudian dipercaya sebagai representasi dari Tuhan. Maka kawula, rakyat,
menghamba kepada Raja, sebagai jalan menghamba kepada Tuhan.
Rakyat bisa salah identifikasi,
sejarah berisi Firaun sangat banyak. Tetapi tidak bisa lenyap naluri menghamba
pada manusia. Ketika masuk era modern kita bilang “mengabdi kepada Negara,
Bangsa dan Agama”. Tiga level itu adalah eskalasi menuju penghambaan kepada
Tuhan. Rakyat kecil, kaum terpelajar, semua orang-orang hebat, berlomba-lomba
menghamba kepada Tuhan melalui jabatan Staf Khusus atau Staf Ahli Presiden atau
Menteri, jadi Komisaris BUMN, atau minimal dapat dana untuk proyek penghambaan
kepada Tuhan.
NKRI adalah Negara dengan sejumlah
fakta kejiwaan dan perilaku Kerajaan. PDIP tetap disinggasanai dan diotoritasi
langkah-langkahnya oleh Ratu Mega putri Raja Besar Bung Karno, berikut akan ke
cucu beliau. Demokrat akan mencagubkan atau tidak keputusannya di tangan Raja
SBY. Demikian juga tipologi perilaku pada Kerajaan-kerajaan lainnya, termasuk
mobilisasi dan pencitraan yang berpangkal pada identifikasi “Satria Piningit”,
atau juga rintisan Kerajaan Hary Tanoe.
Bangsa Indonesia adalah hamba-hamba
Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses identifikasi dan kualifikasinya
untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui Raja atau Presiden siapa — bisa
keliru, itu persoalan lain. Dan ini bukanlah soal salah atau benar, bukan
perkara baik atau buruk. Tetapi jelas ada yang perlu dihitung kembali,
dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula pengelolaan kesejahteraan
rohani jasmani Bangsa Indonesia.
Kita membutuhkan keselamatan masa
depan dengan mempertanyakan kembali “cara pandang, sisi pandang, sudut pandang,
jarak pandang dan resolusi pandang, bahkan kearifan pandang”: terhadap
NKRI dengan seluruh perangkat hardware maupun software-nya. Bhinneka harus kita
tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara
Bhinneka.
Enam ragam pandang di atas berada
dalam spektrum sebab pandang dan akibat pandang. Pemerintah merasa traumatik
terhadap Islam adalah akibat yang ada sebabnya, terutama dari dunia global.
Sikap keras 212 adalah akibat dari sebabnya. HRS, misalnya, bukan Iblis, Jkw
atau TK, pun bukan Tuhan. Masing-masing manusia. Semua warga Bhinneka tidak
bisa menunda iktikad baik dan kebijaksanaan untuk saling mempelajari sebab
akibat dari seluruh yang dialaminya. Tidak bisa masing-masing egois merasa
“kamilah Bhinneka Tunggal Ika, yang itu Kaum Intoleran”.
Sila-5 belum kunjung tercapai, ada
sebabnya, dan harus dicari di Sila-4: Pemerintahan dan Perwakilan yang
kehilangan aspirasi dan rumusan Permusyawaratan. Mesin Sila-4 tidak memproduksi
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mungkin juga akibat dari Sila-3 yang
“bikin mesin pemerintahan” Sila-4. Parpol-parpol, Ormas-ormas dan
ketokohan-ketokohan nasional mungkin tidak berdiri, berpikir, bersikap dan
bertindak NKRI, melainkan menitik-beratkan pada kepentingan diri dan
golongannya masing-masing.
Jangan-jangan ini akibar dari sebab
yang terletak pada Sila-2: pendidikan pemberadaban manusia Indonesia.
Ada tumpukan masalah dan pertanyaan yang sangat serius terhadap dunia
kependidikan nasional. Mungkin salah pijakan, salah niat, misalnya bahwa dunia
kependidikan bukanlah urusan profesi di mana pelaku-pelakunya mencari nafkah
penghidupan. Sebagaimana Pegawai bukanlah profesi, karena nafkahnya dijamin
oleh Negara. Sekolah bukan perniagaan, Universitas bukan perusahaan.
Sebagaimana juga perlu diarifi kembali bahwa kapitalisme jangan sampai menjadi
titik berat pelaksanaan wilayah Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Agama.
Kalau Sila-5 tak tercapai karena
kegagalan Sila-4, Sila-4 tidak produktif karena salah pilih oleh Sila-3, kalau
Sila-3 bukan Persatuan Indonesia melainkan sumber perpecahan karena
disorientasi Sila-2 – mungkin sekali sebab mendasarnya adalah karena seluruh
petugas sejarah Bangsa Indonesia ini memang tidak serius dengan Sila-1.
Mungkin benar parodi “Keuangan Yang Maha Esa”. Mungkin tak terhitung jumlah
penistaan kita semua terhadap Pancasila, Agama dan Tuhan.
Yang Tak Kita Ketahui
Kegagalan simultan, sistemik, dan
struktural mem-Pancasila-kan Indonesia itu hari ini menghasilkan
keyatim-piatuan, ketiadaan Ibu dan Bapak, anak-anak menjadi liar oleh
ketidakseimbangan berpikir untuk meng-NKRI-kan dirinya dan tindakan-tindakannya.
Kita dikepung oleh fenomena Habil Qabil, terkikisnya martabat kebangsaan dan
kemanusiaan, terampoknya harta benda Tanah Air.
Untuk jangka pendek ke depan, secara
pribadi saya mohon izin untuk mengemukakan kalimat sehari-hari. Bahwa kalau
engkau bermasalah terhadap Tuhan, kalau Tuhan tidak kau perlakukan sebagai
Subjek Utama sejarah hidupmu, maka syukur Tuhan masih bisa menunda bencana.
Tapi kalau NKRI bukan konsiderasi primer langkah-langkahmu, maka tidak ada yang
bisa menghindari bencana. Engkau yang kuat, yang terbaik bagimu bukan
meng-kuat-i saudara-saudaramu sendiri. Kalau engkau berkuasa, jangan pikir yang
selamat adalah meng-kuasa-i sesamamu.
Engkau bisa mudah menguasai Pengurus
NKRI, engkau bisa membeli lembaga-lembaga, menaklukkan Ormas-ormas. Tapi
Pemerintah Indonesia berbeda dengan Bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia berbeda
dengan Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di
tanah air Indonesia. NU berbeda dengan Nahdliyin, Muhammadiyah berbeda dengan
Muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan Ummat Islam. Dan Ummat Islam
berbeda dengan Islam.
Ada yang bisa kau kalahkan, kau
taklukkan, kau rampok, kau tindas dan perhinakan. Tapi ada yang tidak. Dan yang
tidak bisa kau taklukkan itu adalah dimensi dan energi yang juga ada di semesta
dan tanah yang disebut Indonesia. Ada yang sama sekali tak kita ketahui tentang
besok pagi.
Diambil dari https://www.caknun.com
0 Komentar