Dien
Bukan Sekedar Agama (Bagian 2)
Din Islam dengan
demikian mempunyai makna dan cakupan yang luas, lebih dari sekedar agama.
Tercakup didalam din Islam adalah ketuhanan, politik, beribadatan,
undang-undang/hukum, sosial budaya, dan sebagainya.
Mengacu pada
makna dien dalam poin-poin di atas jelaslah bahwa agama tidak memuaskan untuk
disejajarkan dengan din. Oleh karenanya perlu penjelasan yang lebih luas
tentang makna dien yang dalam bahasan ini tersambung dengan kata islam.
Kami sepakat
dengan pemahaman bahwa din islam merupakan jalan hidup yang menyeluruh aspek
kehidupan manusia pada umumnya. Meliputi aspek spiritual, politik-kekuasaan,
hukum, ekonomi, dan sebagainya. Meski agama pada umumnya juga mencakup hal
tersebut di atas namun perannya hanya sebatas penganjur atau penjaga moralitas.
Sedang dien islam ingin memastikan bahwa semuanya itu baik-baik saja, dapat
terbumikan di atas bumi ini, terasakan begitu nyata manfaat dan kehadirannya di
tengah-tengah manusia bahkan semesta alam.
Tentunya
terdapat pilar-pilar din islam agar tidak hanya berhenti di menara gading
konseptual dan diskursus intelektual. Berikut pilar-pilar utama din islam;
Pertama, adanya perundang-undangan.
Seperti dikutip al-Quran di atas bahwa untuk mengatur, membuat tertib kehidupan
bersama diperlukan undang-undang, peraturan. Dan dien islam jelas telah cukup
memadai muatan undang-undangnya. Mempunyai prinsip keadilan, keselamatan,
kemaslahatan, dan harmoni yang jika dilanggar maka sebagian—kalau tidak semuanya,--manusia
akan jatuh dalam kesengsaraan.
Kedua, adanya kekuasaan dan aparaturnya. Kekuasaan berfungsi memastikan
bahwa perundang-undangan dengan segala tujuan mulianya terselenggara dalam
kehidupan nyata. Diaplikasikan secara nyata. Aparat penegak hukum juga harus
ada, dan bekerja siang malam mengkawal kepastian hukum.
Ketiga, adanya teritori dan warga yang taat. Mengapa Nabi Ibrahim yang
muslim itu harus pergi dari Babilonia? Mengapa Nabi Musa harus mengajak umatnya
angkat kaki dari Mesir? Mengapa pula Nabi Muhammad mengungsi ke Madinah?
Jawabannya sama, di tanah kelahiran mereka, raja mereka mempunyai teritori yang
tidak mau menggunakan hukum-hukum kehidupan yang diinginkan para utusan Tuhan
tersebut. Nimrod dan aparaturnya sudah punya tata aturan sendiri, Mesir di
zaman itu juga mempunyai dinul malik atau
undang-undang raja, dan Makkah jelas-jelas menolak ajaran-ajaran dinul Islam
yang membahayakan penguasa setempat. Maka ditempat yang baru itulah, yang bisa
bersemai tanaman cinta kasih, yang merdeka dari kuasa raja-raja dunia yang
lalim, warganya dapat berislam, beraslama,
tunduk patuh kepada hukum Sang Pengatur Semesta Alam Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan
kelengkapan dien islam sedemikian maka menjadi mungkin terwujudnya kasih sayang
Sang Pencipta di atas bumi ini. Din islam yang sama, yang diperjuangkan para
Nabi dan para pengikut setianya. Ejawantah konsep-konsep luhur yang diwahyukan
sang Pencipta untuk mahluk-Nya. Manusia dan alam semesta sebagai hardware dan
undang-undang-Nya sebagai software. Sepasang paket fitrah dari “pabrik”nya,
Sang Pencipta yang maha paham apa dan bagaimana ciptaan-Nya.
Sebagai akhir
dari tulisan yang singkat ini, penulis kemukakan pertanyaan-pertanyaan terkait.
Pertama, bagaimana peran agama-agama selama ini? Dapatkah dijadikan harapan
untuk menjadi modal besar perubahan ke kehidupan yang lebih baik atau mungkin
kehidupan yang indah damai sejahtera tidak akan pernah ada kecuali nanti di
kehidupan setelah alam semesta hancur?
Kedua, jika din islam adalah sesuatu dapat diharapkan untuk mewujudkan
kehidupan sorgawi di muka bumi, bersediakah kita memperjuangkannya sebagaimana
para nabi dan orang-orang shaleh terdahulu? Memilih menjadi satria sejati yang
diberkati Tuhan atau orang-orang pecundang?
Ketiga, jika kamu masih percaya dengan segala janji-janji manis sistem dunia
yang ada sekarang, yang telah beratus tahun tidak berpihak kepada kemanusiaan,
keadilan, dan kehidupan damai sejahtera bagi seluruh penduduk bumi,
pertanyaanya adalah KAPOKMU KAPAN?
0 Komentar