Seorang Mahatma Gandhi (1869-1948) berucap “Earth provides enough to satisfy every man’s need,
but not every man’s greed”. Bagi kondisi Indonesia sekarang ini ungkapan
tersebut terasa pas sekali sebagai peringatan: Bumi Indonesia ini menyediakan cukup bagi kebutuhan
setiap manusia yang hidup di atasnya, tetapi tidak bagi keserakahan setiap
orang! Keserakahan, bahkan keserakahan sebagian kecil orang saja, saat
ini seolah telah membuat bumi Indonesia ini tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan
setiap warganya. Karena keserakahan segelintir orang, Indonesia tidak cukup
untuk mensejahterakan bangsanya, seperti cita-cita nasional sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Seorang filsuf politik dari
abad ke-17, Thomas Hobbes (1588-1679), mengajukan sebuah rumusan menarik
tentang sifat dasar kekuasaan:
“Pertama-tama,
saya tetapkan sebagai dorongan paling dasar semua manusia, yaitu hasrat
terus-menerus (perpetual) dan tak kenal lelah (restless) untuk
mengejar kekuasaan demi kekuasaan. Hasrat ini hanya akan berhenti dalam
kematian.”
Kemudian Hobbes melanjutkan:
“Sebab
dari hasrat ini tidak lain karena manusia tidak dapat sepenuhnya menjamin
keberlangsungan hidupnya saat ini (kuasa dan cara ia berkuasa) tanpa adanya
dorongan untuk selalu mau memiliki lebih dari apa yang telah ia punya. Hukum
adalah cara untuk menjamin keberlangsungan hidup itu di dalam wilayah
kekuasaannya. Perang adalah cara untuk menjamin keberlangsungan hidup di
luar wilayah kekuasaannya. Setelah itu semua tercapai, semua hasrat lain akan
mengikuti satu demi satu, hasrat sensual, hasrat terkenal, hasrat dipuja,
hasrat kesempurnaan, atau dalam diri sedikit orang termasuk
juga hasrat berpikir. "
Thomas Hobbes mengajukan
rumusan ini dalam bukunya Leviathan (terbit pada 1651).
Dengan demikian Thomas Hobbes sebenarnya telah menyingkapkan dua hal paling
purba, dua hal paling naluriah, paling manusiawi, sekaligus juga paling
fundamental yang telah selalu bermukim di dalam diri manusia, yaitu: 1)
hasrat (desire), dan 2) kuasa (power).
Hasrat
atau nafsu yang built in di dalam
diri manusia menjadi “makhluk” yang sulit didefinisikan untuk kemudian ditundukkan
dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Seperti dalam konteks kehidupan
manusia hari ini sulit membedakan antara “kemuliaan manusia” dengan “hasrat
yang dibungkus secara apik dan rapi seolah-olah menjadi kemuliaan manusia”.
Semua bangsa dan semua pemimpin bangsa mengaku hadir untuk kemuliaan manusia
yaitu mewujudkan kehidupan yang adil makmur, damai sejahtera.
Setiap
hari makin banyak profesor dan orang-orang pintar dalam berbagai bidang dicetak,
logikanya bumi atau alam akan terawat oleh pengetahuan mereka, namun alam
tempat hidup manusia semakin rusak. Kehidupan sosial manusia kian semrawut dan
chaos. Dari bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran,
sampai bencana sosial seperti penggusuran, tawuran, pembunuhan, pemerkosaan,
aborsi, penipuan, persaingan tidak sehat, perampokan, korupsi, dan ketidakadilan
lainnya seakan menjadi buah pahit yang harus kita santap setiap hari. Berlakulah
prinsip kehidupan rimba exploitation de l’homme par
l’homme, exploitation de nation par nation, manusia
hidup dengan menindas dan menghisap manusia lainnya, dan sebuah bangsa menjadi
besar berkat membinasakan bangsa lainnya. Untuk kehidupan binatang prinsip ini
sah namun bagi kehidupan manusia sungguh mengharukan.
Tentu
harus ada solusi pemecahan konkrit terhadap segala permasalahan tersebut.
Mengacu pada tesis Ghandi bahwa “bumi telah menyediakan cukup untuk kebutuhan
setiap makhluk di atasnya namun bukan setiap keserakahan” maka benarlah bahwa
Tuhan menciptakan alam semesta termasuk bumi dan segala makhluk di atasnya
berdasarkan suatu keseimbangan dan kesetimbangan. Prinsip keseimbangan inilah
yang harus diejawantahkan dalam kehidupan manusia termasuk dalam mengharmoni
keberadaan hasrat atau nafsu manusia. Karena hasrat atau nafsu juga makhluk
atau ciptaan Tuhan tentu Tuhan pula yang tahu dan akan mengajarkannya pada
manusia. Tuhan sebagai creator maka
Dia pula sebagai Pemelihara dan Pengaturnya. Jawaban dari seluruh teka-teki
permasalahan dunia tidak akan pernah ditemukan ketika manusia hanya berdasarkan
pandangan dan pendapatnya an sich terhadap kehidupan di bumi ini, sementara
Tuhan masih menjadi subjek yang menentukan dari mana dan akan ke mana arah
gerak (sangkan-paran) kehidupan di
bumi sebagai bagian dari kreasiNya.
Dalam Leviathan
Hobbes menunjuk satu syarat penting dari terbentuknya tatanan sosial-politik:
manusia-manusia, yang seringkali putus asa dan seringkali juga berubah buas,
hanya akan dengan sukarela menyerahkan sebagian kebebasannya dan menyediakan
dirinya untuk diperintah serta dipimpin, jika dan hanya jika ia (mereka) yang
diberi kepercayaan untuk menjamin kontrak sosial dapat sungguh-sungguh
memanfaatkan kepercayaan itu untuk menciptakan/mempertahankan stabilitas
tatanan hidup bersama. Artinya, manusia hanya bersedia dikuasai oleh
kekuatan yang memang lebih superior dari dirinya sendiri. Tanpa jaminan
itu, tatanan berubah menjadi perang semua melawan semua (bellum omnium contra
omnes). Negara, sang Leviathan, oleh Hobbes juga dijuluki “manusia buatan”
dan Deus mortalis, “Allah yang dapat mati”. Negara itu manusia buatan karena
hasil rekayasa manusia itu mirip dengan manusia:negara mempunyai kehidupan dan
kehendak sendiri. Dan ia bagaikan Allah. Ia memang dapat mati, artinya bubar.
Tetapi selama ia ada, ia seperti Allah, menjadi tuan atas hidup dan mati
manusia, ia berwenang untuk menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa
yang adil dan apa yang tidak, dan terhadap siapapun negara tidak perlu
memberikan pertanggung jawaban.
Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, petuah agung yang
dikumandangkan Mpu Tantular pada abad ke-14, hari ini menemukan relevansinya. Indonesia
dalam pusaran permasalahan global yang rumit dan kompleks dengan latar belakang
budaya, suku, agama serta sifat kepulauannya harus mampu menginternalisasi dan
mengaktualkan nilai dari semboyan tersebut dalam kehidupan berbangsa. Bhinneka Tunggal Ika diartikan “Yang
beraneka itu adalah tunggal/tauhid”. Dharma
diartikan sebagai kewajiban; tugas hidup; kebajikan, mangrwa berarti mendua, menyekutu, tidak menyatu dan kokoh. Maka Tan Hana Dharma Mangrwa artinya Tidak
Ada Pengabdian yang Mendua. Dalam hidup ini tidak boleh ada pengabdian mendua,
selain pengabdian makhluk kepada Penciptanya (Kholiknya), karena kebenaran
hanya satu, maka walau plural dengan latar belakang suku, ras, budaya dan
sebagainya namun hakekatnya tunggal (tauhid). Kalau boleh dianalogikan seperti
pecahan 1/2 yang tidak bisa dijumlah dengan 1/3, kecuali dengan
mentranformasikan 1/2 menjadi 3/6 dan
1/3 menjadi 2/6, maka terjumlahlah penyatuan utuhnya menjadi 5/6. Seperenam
adalah penyebut sedangkan 1 dan 2 adalah pembilang. Yang bisa mentauhidkan atau
memanunggalkan manusia adalah visi dan misi Tuhan Yang Maha Esa yang dijabarkan
dalam suatu kalimat yang tidak diperselisihkan yaitu “Sang Pencipta sebagai
satu-satunya yang dijadikan Tuan atau pusat pengabdian”.
Sebagai
bangsa yang diwasiatkan “kalimat yang satu” itu tentu bangsa ini harus mampu memantulkan
ke-tauhid-an tersebut yaitu dengan keluar dari pola pikir parsial-sekular-doktrinal menuju pola pikir tauhid-universal yang memahami bahwa
alam semesta ini adalah sebuah kerajaan yang sangat besar yang sudah established dengan mono sistemnya jauh
sebelum manusia hadir. Tidak ada pilihan lain bagi manusia jika ingin hidup
dalam harmoni seperti makhluk lainnya kecuali meleburkan diri dalam satu sistem
besar itu. Dalam sistem tersebut telah ditetapkan rantai pengabdian bagi
seluruh makhluk, pengorbanan dan pengabdian dari masing-masing makhluk itulah
yang membentuk kehidupan setimbang, selaras dan lestari.
Apapun latar
belakang serta kedudukan dan posisinya, siapapun ia harus mengabdikan dirinya
kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui satu sistem besar yang sering kita sebut
tauhid. Tidak ada hak makhluk mengabdikan dirinya kepada makhluk yang lain
karena pengabdian selain kepada Tuhan itulah esensi perbudakan yaitu mengabdi
kepada hasrat atau nafsu. Mengabdi kepada hasrat atau nafsu di sini bisa nafsu
orang lain ataupun nafsu sendiri. Maka pengabdian berbeda dengan penyembahan
karena pengabdian mensyaratkan pengorbanan baik harta maupun jiwa, termasuk
mengorbankan hasrat diri. Karena Tuhan dengan satu sistem besarnya mempunyai
kehendak, perintah dan rencana. Dan kehendak, perintah dan rencana nafsu tidak
akan pernah sama dengan yang dari Tuhan kecuali hasrat yang sudah ditundukkan
dengan ilmu-Nya. Dengan
itulah harmoni antara
Tuhan, Manusia dan Alam Semesta mewujud maka adil makmur, damai sejahtera dalam
hidup manusia tidak lagi menjadi utopia berkepanjangan karena seluruh makhluk
di alam hidup dan beraktivitas dalam gambar-Nya.
Inilah jawaban
untuk diksi Hobbes di atas, mengorganisasi manusia bukan dengan satu dorongan saja
yaitu pada perasaan takut terhadap maut seperti digambarkan sebagai Leviathan yaitu makhluk raksasa buas
yang siap mengancam semua individu untuk patuh pada negara tapi dengan kesadaran
akan kemuliaan manusia. Pada setiap individu ada potensi kesadaran ilahiyah (God Spot), potensi inilah yang
dibangkitkan dan dikembangkan menjadi karakter individu, masyarakat, bangsa dan
negara. Dengan itulah manusia mentransformasi kekuasaan yang tadinya berasal
dari hasrat atau nafsu manusia (“rendah”) menjadi sarana untuk mengabdi
(“mulia”). Kekuasaan atau negara yang berlaku dan beroperasional sebagai “tuan”
hidup dan mati manusia, yang dengan demikian mempunyai kewenangan menetapkan mana yang benar dan
salah, mana yang adil dan tidak, haruslah menjadi kepanjangan tangan Tuhan
Yang Maha Esa dengan ajaran Kasih dan Sayang-Nya. Kekuasaan itu harus mampu menjadi
media Dia dalam mewujudkan secara nyata keadilan-Nya. Itulah kondisi tauhid
(manunggalnya Sang Pencipta dengan ciptaanNya dalam satu kehendak = rahmat bagi semesta alam).
0 Komentar