Pengantar
Sila Keadilan
Sosial Bagi
Seluruh Rakyat
Indonesia tidak dilaksanakan secara baik oleh negara ini di mana terjadi
ketidak adilan yang panjang terhadap para penghayat kepercayaan. Hak dasar
manusia untuk bebas beragama atau berkeyakinan tidak dipenuhi. Kuasa mayoritas
digunakan untuk meminggirkan, mendiskriminasi minoritas dan negara jelas
terlibat melalui regulasi yang dibuat.
Agama impor
telah bersikap tidak adil terhadap agama lokal.[1] Meski putusan MK 7
November 2017 memenangkan para Penghayat, namun tetap saja ketidak adilan
terjadi di banyak tempat. Karenanya terus perlu digaungkan suara keadilan,
terus dikritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak bijak dan melanggar
Hak Asasi Manusia. Dan unggahan tulisan dari buku Sudarto dari Setara Institut
adalah bagian dari upaya tersebut.
Berikut
unggahan dari buku berjudul Kondisi
Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
karya Sudarto 2017, halaman 19 – 40. Selamat menikmati.
Sejarah Panjang Diskriminasi atas Penghayat Kepercayaan
Persoalan
diskriminasi yang dialami oleh kelompok penghayat Kepercayaan memiliki sejarah
yang panjang di Indonesia. Akar diskriminasi terhadap mereka bermula dari
politik agama atau religionisasi atau disebut juga religious discourse yang
pernah terjadi di negeri multi agama ini. Daniel Dhakidae menyebutkan,
kebijakan warisan pemerintah kolonial Belanda yang paling penting untuk pribumi
adalah kebijakan terkait dengan agama. Dan dari semua kebijakan agama yang
terpenting adalah kebijakan politik terhadap Islam yang dikatakan sebagai
Islamic politicy.[2]
Dhakidae lebih
rinci menjelaskan politisasi melalui kebijakan pengaturan kehidupan beragama
oleh pemerintah kolonial Belanda utamanya untuk kepentingan pengamanan modal
dalam dua pertimbangan penting saat itu. Pertama, bentuk kewaspadaan terhadap
ancaman Pan Islamisme yang anti kafir. Kedua, kewaspadaan terhadap kembalinya
para jama’ah haji dari Makkah, yang akan berpengaruh pada kekuasaan Belanda
karena pengaruh Arabnya.[3]
Tegasnya sulit
dipungkiri, bahwa pengelolaan kehidupan beragama dan Kepercayaan di Indonesia
pasca kemerdekaan masih sangat kuat dipengaruhi oleh pemerintah kolonial
Belanda dalam menata kebijakannya. Warisan paling nyata adalah pembangunan
Kantor Urusan Pribumi (Kantoor Van Inlandsche Voor Zaken). Bersamaan dengan hal
itu, segera mengingatkan betapa krusialnya peran tokoh Snouck Hurgronje. Sebab
melalui kantor inilah semua kebijakan politik menyangkut relasi sosialnya
dengan pribumi dikelola dengan sistematik dan modern, yang jejaknya dapat
dilihat hingga saat ini.[4]
Kembali
mengutip penjelasan Dhakidae apa yang dilakukan oleh pemerintah atas nama
negara telah membuat kebijakan entry barrier.[5] Dalam pengertian: Pertama,
negara secara legal mengeluarkan peraturan-peraturan, dektrit, surat keputusan
bersama, baik oleh lembaga tinggi negara maupun melalui kementerian-kementerian
secara kolaboratif untuk melarang suatu kelompok keyakinan. Kedua, negara
melakukan pengawalan atau pagar penghalang yang dijaga secara ketat dan seksama
oleh Kementerian Agama (Departemen Agama), sebagai lembaga yang memegang
“sertifikat” monopolis untuk menentukan benar atau salahnya satu keyakinan atau
diakui dan tidak diakuinya satu keyakinan dan agama. Sekaligus boleh atau
tidaknya suatu agama dan kepercayaan dilaksanakan oleh warga yang memiliki
keyakinan tersebut. Ketiga, dikerjakan secara teliti oleh PAKEM yang dalam
banyak kasus melampaui Departemen Agama untuk mengontrol, mengawasi dan
menindak keyakinan yang dianggap menyimpang dalam masyarakat. Dan atas desakan
kelompok dominan, suatu agama atau keyakinan dianggap menyimpang atau sesat dan
salah harus dibekukan dan pelakunya harus dikriminalkan. Keempat, alat negara
termasuk Angkatan Perang Republik Indonesia, Kepolisian Negara terlibat atau
dikerahkan sebagai penindak atas dugaan penyimpangan dan atau aliran sesat.[6]33 Dhakidae menegaskan:
“Sesat dan
tidaknya suatu aliran keagamaan ditentukan oleh pertemuan yang disebut
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Pihak Kepolisian baru
memiliki wewenang untuk menindak para pengikut aliran jika rapat Pakem yang
terdiri dari Aparat Kejaksaan, Departemen Agama, Pemerintah Daerah dan
kepolisian telah menentukan bahwa suatu kegiatan keagamaan dianggap sebagai
aliran sesat. Selanjutnya pelara-ngan kegiatan oleh Kejaksaan Agung”.[7]
Dalam kerangka
ini, diskusi tentang salah atau benarnya suatu agama dan/atau keyakinan di
Indonesia pasca kemerdekaan sampai saat ini, bukanlah mengacu pada kriteria
kebenaran itu sendiri atau kebenaran falsafati, melainkan berdasarkan nalar,
yang oleh Dhakidae dijelaskan bahwa diskusi-diskusi tentang tata kelola
kehidupan beragama dan dinamiakanya lebih sebagai religious discourse atau
fellowship of discourse. Kebenaran hanya boleh dimiliki oleh suatu kelompok
tertutup dan tidak boleh dibagi kepada orang lain.
Dengan kata
lain, berbicara soal kebenaran agama di Indonesia tidak melulu bicara kebenaran
an sich, melainkan juga bagaimana menguasai alias menjajah orang lain melalui
rebutan “menjadi” agama yang diakui oleh kekuasaan jika perlu harus menindas
yang lain supaya tidak diakui. Tegasnya dalam konteks politik agama ini,
diskusi kebenaran bukan mengacu pada pengertian kebenaran secara filosofis dan
teologis, melainkan kebenaran yang diinginkan oleh kelompok dominan.
Melalui
kebijakan politik agama ini, yang paling terkena dampak paling mendalam adalah
kelompok penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau yang sering
disebut juga sebagai agama lokal atau agama asli. Dengan kata lain akibat dari
politik agamaisasi tersebut agama lokal mengalami proses diskriminasi secara
sistematis, massif dan terstruktur. Kepercayaan tidak hanya menjadi obyek
rebutan gerakan dakwah dan misi, tetapi juga selalu mengalami pemaksaan untuk
menjadi agama dalam nalar dominan, atau dengan pilihan dimusnahkan.
Pertama,
intervensi negara terhadap kehidupan beragama, yaitu campur tangan negara
terhadap keyakinan agama masyarakat yang sesungguhnya bersifat sangat privat.
Negara tidak lagi menjadi pengelola yang berkewajiban memfasilitasi serta
mengatur atau menjaga eksistensi masing-masing agama dalam kerangka masyarakat
yang majemuk, tetapi sudah memasuki ranah yang sesungguhnya menjadi hak
masing-masing agama. Akibatnya, telah terjadi semacam masifikasi agama dalam
kepentingan negara yang menyangkut upaya penyeragamaan, sehingga kedaulatan
agama adalah soal Kepercayaan yang diakui dan Kepercayaan yang tidak “diakui”.
Kedua, pendefinisian
agama resmi (official religion) oleh negara yang mengacu pada kepentingan agama
“resmi”, dimana penetapan sesuatu agama yang dianggap resmi hanya mengacu pada
tradisi Abrahamic Religion.[10] Termasuk dalam hal ini
negara telah melakukan pendefinisian agama yang benar atau sehat dan agama yang
tidak benar dan tidak sehat. Tindakan intervensif ini dikukuhkan melalui UU
Nomor 1/PNPS/1965, yang seakan memberikan mandat sepenuhnya kepada Kementerian
Agama untuk mendefinisikan suatu agama yang danggap benar atau salah.[11]
Paradigma
“pembinaan” untuk mengembalikan aliran terhadap agama utama, sesungguhnya lebih
merupakan “pemaksaan” terhadap keyakinan lain yang melampaui wewenang agama itu
sendiri. Dan implikasi yang begitu besar dari intervensi ini kelompok agama
besar atau yang disebut sebagai agama resmi dengan sewenang-wenang mempidanakan
kelompok dengan tafsir dan/atau pemahaman berbeda dengan tuduhan menodai agama
termasuk dengan mudah mencurigai upaya melakukan penyegaran terhadap paham
keagamaan yang mapan.
Ketiga,
sebagai konsekuensi dari penetapan agama resmi negara, termasuk mendefinisikan
agama yang benar oleh negara, maka bersamaan dengan karakteristik agama yang
memiliki klaim kebenaran atau bahkan merasa paling benar, maka kelompok agama
merasa berkewajiban untuk mendakwahkan agamanya yang diyakini memiliki
kebenaran mutlak itu. Dalam perjalanannya, kebijakan intervensi terhadap
pendefinisian agama oleh negara yang tentunya atas intervensi kelompok agama
mainstream, telah berdampak pada hilangnya semangat menghargai perbedaan
pandangan atau kemajemukan pemikiran dalam agama, tetapi juga menjadi senjata
baru bagi agama-agama resmi untuk melakukan penjajahan dan penindasan terhadap
agamaagama lokal.
Secara
kronologis dinamika penindasan terhadap agama lokal dapat dirunut sejak fase
awal kemerdekaan. Pasca kemerdekaan tahun 1945, selain terhadap kelompok
nasionalis sekuler, kelompok Islam juga harus berhadapan dengan kelompok
penganut agama lokal. Dalam pembangunan konstitusi, KH. Wahid Hasyim,
mengusulkan pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin Kemerdekaan tiaptiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya itu”.
Usulan KH. Wahid Hasyim direspons oleh Mr. Wongsonegoro, dengan menambahkan
frasa “beribadah menurut Agama dan Kepercayaannya itu”. Lebih tegas
Wongsonegoro menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Kepercayaannya itu” secara
implisit menyangkut eksistensi agama lokal dengan tradisi kebatinannya.[12]
Sebagaimana
telah disebutkan pada bagian terdahulu, meskipun keberadaan agama lokal terus
mendapatkan gempuran baik oleh kalangan Islam sebelum era kolonialisme maupun
pada zaman kolonialisme, agama lokal dengan segala keterbatasannya tetap eksis
dan bertahan. Sejarah mencatat, pasca kemerdekaan penganut agama lokal atau
paling tidak kelompok masyarakat yang masuk Islam karena ingin aman dari risiko
administrasi mengalami perkembangan.
Setelah
diresmikannya Kementerian Agama oleh Presiden Soekarno melalui Keppres
tertanggal 2 Januari 1946, fokus umat Islam melakukan pembenahan internal dan
serta terus melakukan Islamisasi kepada masyarakat Indonesia utamanya terhadap
kelompokkelompok yang dianggap belum beragama. Pada September 1948, untuk
pertama kalinya terjadi ketegangan dalam bentuk konflik fisik antara
kelompok PKI dengan kelompok kiai di Jawa, dengan tragedi puncaknya berupa
peristiwa Madiun.[13]40
Intensitas gerakan islamisasi tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap
dinamika kelompokkelompok Kepercayaan.
Pada 1950-an
gerakan kelompok-kelompok Kepercayaan mengalami kebangkitan cukup
signifikan. Fenomena ini muncul bukan hanya di kalangan priyayi
namun juga muncul di kalangan abangan. Beberapa sarjana Barat
yang mengkaji fenomena ini misalnya Justus M.Van Der Kroef, Niels
Mulder, Paul Stange dan Rahmat Subagya
nama aslinya J. W. M. Bakker, S.J.[14] Mencermati perkembangan
tersebut, tahun 1951 Kementerian Agama RI membuat daftar aliran Kepercayaan
baru. Pada tahun tersebut terdata sebanyak 73 kelompok agama lokal[15]
Seperti
gelisah melihat perkembangan kelompok penghayat Kepercayaan, pada 1952
Kementerian Agama yang didominasi oleh kelompok Islam mengajukan satu definisi
minimum tentang agama. Menurut Kementerian Agama bahwa satu keyakinan dikatakan
sebagai agama apabila memenuhi kriteria “ada nabi, ada kitab suci, dan
pengakuan internasional”.[16] Definisi ini
tentunya hanya menguntungkan bagi agama Islam dan Kristen dan secara implisit
tidak mengakui aliran Kepercayaan sebagai agama.
Adapun tujuan
utama dibuatnya sebuah definisi tentang agama sebagaimana dimaksudkan di atas
adalah untuk menekan perkembangan aliran Kepercayaan. Hal ini dikarenakan
menurut kelompok Islam, perkembangan aliran Kepercayaan ini dianggap
membahayakan bagi Islam dan perjuangan politik Islam, dan wacana atau tuduhan
yang diapungkan bahwa penghayat Kepercayaan menjadi pendukung utama
Partai Komunis Indonesia. Ideologi Partai Komunis Indonesia
tentunya sangat berseberangan dengan ideologi Islam. Definisi tersebut di
atas mendapat respons negatif dari agama Hindu Bali sehingga kemudian ditarik
kembali.
Dengan
ditolaknya definisi tersebut tidak membuat kelompok Islam mundur. Kelompok
Islam terus berusaha mencari bagaimana supaya tetap bisa mengontrol
perkembangan aliran Kepercayaan. Pada 1953, Kementerian Agama kembali
melansir wacana munculnya 360 agama baru. Berangkat dari wacana munculnya
banyak agama baru, pada 1954 Kementerian Agama mendirikan Pengawasan Aliran dan
Kepercayaan (PAKEM). Lembaga ini memiliki fungsi melakukan pengawasan atas
gerakan-gerakan spiritual yang tidak sepaham dengan Islam.[17]44 Terkait dengan PAKEM,
Afandi menganggap sebagai cara negara melindungi agama khususnya Islam.
Sedangkan Mulder menganggap PAKEM sebagai: “In hands of the Ministry of
Religion, PAKEM became the watch-dog against utterly anti-Islamic spiritual
movements.”[18]
Merespons
wacana Kementerian Agama yang dimotori oleh kelompok Islam, pada 19-20 Agustus
1955 para penghayat kepercayaan menyelenggarakan Kongres Kebatinan I yang
dihadiri oleh 680 orang peserta yang diwakili oleh 67 organisasi perwakilan.
Adapun tujuan kongres pertama adalah untuk mempersatukan organisasi penghayat
Kepercayaan yang sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Pada kongres
tersebut berdirilah organisasi kebatinan yang dikenal kemudian sebagai Badan
Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) dan mengangkat Wongsonegoro (mantan menteri
PPK) sebagai ketua umumnya. Dalam Kongres I ini definisi tentang kebatinan
sebagai “Sepi ing pamrih, rame ing gawe, hamemayu hayuning bawono”. Sementara
itu, Engkus Ruswana menyebutkan bahwa Kongres Paguyuban /Organisasi Kebatinan I
itu terjadi pada 19-21 Agustus 1955 diwakili oleh 70 kelompok paguyuban
Kebatinan.[19]
Setelah
kongres pertama, pada 1956, Kelompok paguyuban/organisasi Kebatinan
menyelenggrakan Kongres II di Surakarta. Pada Kongres Kebatinan II ini diikuti
oleh 2.000 peserta yang diwakili oleh 100 sampai 150 organisasi kebatinan
perwakilan, yang mewakili sekiar 2.000.000 seluruh komunitas penghayat di
Indonesia.[20]47 Pada Kongres II
tersebut, definisi kebatinan mengalami perubahan sebagai “Sumber asas sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup”.[21]
Mencermati pergerakan
kelompok penghayat Kepercayaan yang kian menggeliat, kelompok Islam berfikir
ingin menekan laju partumbuhan agama lokal, yang saat itu disebut sebagai
aliran kepercayaan/ kebatinan. Kementerian Agama pada 1961 kembali mewacanakan
definisi agama. Menurut Kementerian Agama, sebuah agama setidaknya harus
mempunyai kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa dan suatu
sistem hukum bagi para penganutnya.[22] Usulan definisi tersebut tujuannya
sangat jelas, yakni sebagai langkah strategis dari tokohtokoh Islam
untuk menekan perkembangan aliran Kepercayaan.
Usulan
formalisasi definisi agama oleh Kementerian Agama dilatarbelakangi oleh adanya
usulan dari BKKI pada tahun 1957 dimana Dewan Musyawarah BKKI meminta Presiden
Soekarno agar menyetarakan antara BKKI dengan agama-agama lainnya. Dalam
Kongres yang keempat pada Juli 1960 di Malang Jawa Timur, BKKI menegaskan bahwa
kebatinan pada hakekatnya sama dengan agama-agama pendatang lainnya, karena
keberadaannya sama-sama menitikberatkan pada penyembahan kepada Tuhan,
sedangkan kebatinan menekankan pada pengalaman batin dan kesempurnaan manusia.[23]
Seperti tidak
ingin ketinggalan momen penting tersebut, kelompok penghayat Kepercayaan
merespons usulan Kementerian Agama tentang definisi agama dengan
menyelenggarakan berbagai kegiatan diskusi dan seminar di beberapa daerah yang
berlangsung sejak 1956-1962. Adapun tema-tema yang diangkat adalah seputar isu
eksistensi penghayat Kepercayaan dalam kaitannya dengan pendidikan kepribadian
nasional dengan Manipol Usdek sebagai narasi tunggal pemerintah saat itu yang
dihubungkan dengan tatanan dunia yang damai.
Pada 28-29
Januari 1961 misalnya, BKKI menyelenggarakan Seminar Kebatinan BKKI di Jakarta.
Pada seminar tersebut, BKKI mengusulkan agar kelompok Kepercayaan, yang saat
itu disebut sebagai kebatinan, untuk diberikan hak sekolah-sekolah. Namun
usulan tersebut ditolak lagi oleh Kementerian Agama, karena lagi-lagi menurut
Kementerian Agama kebatinan bukanlah agama.[24] Namun demikian kelompok
penghayat Kepercayaan terus mengonsolidasikan pengikutnya. Pada 1959 lahirlah
RUU penyewaan tanah dan pembagian hasil diloloskan dalam Baleg DPR RI.
Bersamaan dengan rapat pengesahan RUU tersebut Dewan Musyawarah BKKI yang
diajukan ke Presiden untuk menyetarakan Kebatinan secara hukum dengan
agamaagama lainnya.
Pada 1960 UU
Pertanahan disetujui. Gerakan land reform ini oleh kalangan Muslim dilihat
sebagai ancaman terhadap Islam.[25] Karena gerakan land
reform yang merupakan gerakan memperjuangkan pembebasan tanah bagi orang-orang
yang tidak punya tanah. Padahal para penguasa tanah di desa biasanya
adalah para pejabat, haji dan pemimpin agama, sehingga sejak program land
reform dikampanyekan terjadi ketegangan berbau religio-komunal antara santri
dan kelompok penghayat Kepercayaan.
Merespons
ketegangan yang terus terjadi, pada pertengahan 1960, PAKEM diambil alih oleh
Kejaksaan RI. Disusul kemudian pada 1961, UU Pokok Kepolisian yang dalam pasal
13 muncul klausul “pengawasan preventif terhadap aliran-aliran Kepercayaan.
Berbagai peristiwa dan ketegangan antara kelompok Muslim dan Kelompok penghayat
Kepercayaan mendorong Presiden Soekarno pada 27 Januari 1965 mengeluarkan UU
Pengganti yang dikenal dengan UU No. 1 PNPS yang intinya mengukuhkan agamaagama
resmi dan menghukum penghayat Kepercayaan sebagai penoda 6 agama. Melalui UU
No. 1/PNPS/1965, negara membuat acuan pengaturan terhadap kelompok kebatinan
agar menjadi Aliran Kepercayaan Yang Sehat.
UU No.1/PNPS/1965
menjadi pukulan telak yang melumpuhkan kelompok penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan yang Maha Esa. Pada sisi lain, lahirnya UU tersebut merupakan keberhasilan
kelompok Islam dalam menggunakan tangan negara untuk membungkam atau bahkan
meredam gerakan
penghayat Kepercayaan di Indonesia. Beberapa pasal rawan yang berdampak sangat
diskriminatif terhadap Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dipicu
oleh PNPS tersebut adalah:
Pasal (2) “
Apabila pelanggaran pada ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau suatu aliran
Kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu
dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/Aliran
terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapatkan pertimbangan dari Menteri
Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal (3)
“Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/
Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia
menurut ketentuan dalam pasal (2) terhadap orang, Organisasi atau Aliran
Kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang,
penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari
aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.
Jika dilihat
dari genealogi lahirnya UU No. 1/PNPS/1965 tersebut, sebenarnya secara ekplisit
berangkat dari ketakutan terhadap keberadaan kelompok agama lokal yang
dianggapnya bukan agama oleh kelompok agama mainstream. Dua pasal tersebut di
atas, dilatarbelakangi oleh konstruksi berfikir Kementerian Agama dalam
mendefinisikan agama sebagaimana dengan sangat jelas disebutkan.
“Telah nyata,
bahwa pada akhir-akhir ini hampir seluruh Indonesia tidak sedikit timbul
aliran-aliran atau oranisasiorganisasi kebatinan/ Kepercayaan masyarakat yang
bertentangan dengan ajaranajaran dan hukum agama. Di antara ajaran-ajaran/
perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang
menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan
menodai agama. Dari Kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau
organisasiorganisasi kebatinan/ Kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan
/atau mempergunakan agama sebagai pokok pada akhir-akhir ini bertambah banyak
dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agamaagama yang ada”.[26]
“Untuk
mencegah berlarutlarutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat membahayakan
persatuan bangsa dan negara, maka dalam rangka kewaspadaan nasional dan dalam
Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Dekrtit Presiden tanggal 5 Juli
1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketatanegaraan dan
keagamaan….”
Mencermati
pasal demi pasal dan penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tersebut, terutama mengacu
pada konsep agama resmi dan atau agama yang diakui negara, nasib
kelompokkelompok Kepercayaan benar-benar berada di ujung tanduk. Penghancuran
terhadap Kepercayaan semakin sistematis, terencana dan semakin terasa ketika
pemerintahan rezim Orde Baru mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bidang agama
yang secara eksplisit menyebutkan bahwa kelompok “Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa” bukan merupakan sebuah agama.[27]
UU No. 1/PNPS/1965
sebagaimana disebutkan merupakan bentuk intervensi inilah negara atas desakan
kelompok agama dominan (Islam), menyebabkan pemerintah Orde Lama yang kemudian
dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru menempatkan agama tidak lebih sebagai
lembaga korporasi negara, dibanding sebagai kekuatan civil society. Dalam
kaitan ini Daniel Dhakidae menyatakan agama telah menjadi diskursus, di mana
terjadi pertandingan antara beberapa rezim kebenaran yang dibela agama
masingmasing yang mungkin tidak berjalan netral. Yang satu lebih berkuasa dari
yang lain karena dukungan modal dan dukungan kekuasaan negara serta institusi
sosial lainnya. Pertarungan itulah yang
menyebabkan adanya eksklusi atau pengingkaran terhadap yang lain dan
menyebabkan makna kebenaran menjadi kekuasaan.[28]
Lahirnya UU
No. 1/PNPS/1965 menempatkan kelompok penghayat Kepercayaan pada situasi kritis
karena dalam implementasinya pengaturan terhadap agama lokal selalu disebut
bukan agama dan tidak diakui bahkan dicurigai sebagai kelompok pengacau
keamanan. Problem politik pengakuan (recognisi politic), kian menampakkan
wujudnya dalam rezim Orde Baru.
Pemerintahan
rezim Orde Lama berakhir, tidak lama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30
September 1965 yang konon di dalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Tuduhan
bahwa di balik gerakan 30 September 1965 didalangi PKI, tentunya muncul dari
Soeharto dan pendukungnya. Akhir-akhir ini tuduhan bahwa PKI berada di belakang
gerakan 30 September 1965 selain disangsikan oleh banyak orang, juga mulai
muncul tulisantulisan yang menyatakan bahwa dalang di balik peristiwa itu
justru militer sendiri di bawah komando Letjen Soeharto, untuk sebuah kudeta
yang oleh John Rossa disebut “kudeta merangkak”.[29]
Bermodalkan
Surat Perintah Sebelas Maret yang lebih dikenal dengan Supersemar, Soeharto
memuluskan kudetanya.[30] Di bawah rezim Orde Baru,
anti-Komunisme menjadi “agama” baru negara. Rezim Orde Baru melengkapi agama
baru anti komunisme dengan segala situs-situsnya, upacara-upacara, dan
tanggal-tanggal yang sakral menyerupai illo tempora.[31] Para perwira Soeharto mengubah
Lubang Buaya sebagai situs sakral yang menjadi simbol keabadian atas peristiwa
pembunuhan 7 (tujuh) perwira Angkatan Darat di Jakarta pada 1 Oktober 1965.
Bersamaan dengan peristiwa itu, Soeharto yang didukung penuh oleh dua ormas
besar NU dan Muhammadiyah serta mahasiswa angkatan 1966. Dengan dukungan ini,
pimpinan-pinanan agama dari berbagai ormas dan seluruh aparatnya melakukan
pengejaran, pembunuhan dengan cara yang oleh banyak pengamat dianggap sangat
tidak manusiawi terhadap anggota PKI dan organisasi yang terkait dengan PKI.
Meletusnya
gerakan 30 September 1965 seakan menjadi momen balas dedam terhadap PKI oleh
kelompok Islam.[32]
Pada era ini PKI diidentifikasi sebagai manusia anti Pancasila dan anti agama
atau bahkan distigma sebagai kaum atheis. Pada zaman itu term anti Pancasila
dari ekstrim kiri dialamatkan kepada PKI. Bersamaan dengan itu pula stigma
dilekatkan kepada kelompok penghayat Kepercayaan yang dituduh sebagai salah
satu basis massa.
Para penghayat
Kepercayaan hidup dalam dilema antara bertahan pada keyakinan lokalnya berarti
kematian karena dianggap tidak beragama, atau meninggalkan keyakinan lokal dan
memilih salah satu dari enam agama yang diakui negara dengan menanggalkan
keyakinan leluhurnya. Pada saat itulah masyarakat berbondong-bondong masuk
salah satu agama resmi negara. Kalimat sakti yang diusung rezim Orde Baru
antara lain “pengamanan Pancasila dari bahaya PKI yang ateis dan anti
Pancasila.”[33]
Pada situasi
konstelatif tersebut, tahun 1966, kelompok penghayat Kepercayaan melalui Badan
Musyawarah Kebatinan berupaya mengamankan diri dengan menjadi bagian dari
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Masih dalam kaitan dengan
upaya pemerintah Orde Baru pada fase awal untuk melakukan pembersihan terhadap
siapa saja yang dianggap PKI, Presiden Soeharto mengeluarkan beberapa instruksi
antara lain melalui Inpres No. 14 tahun 1967, tentang agama, Kepercayaan dan
adat istiadat Cina. Meskipun melalui Instruksi Presiden ini Konghucu belum
secara eksplisit dibubarkan, namun kegiatan yang bersifat publik terkait
pelaksanaan kegiatan keagamaan Konghucu telah dikebiri.[35] Tidak lama berselang
pemerintah melalui Permendikbud menghapus mata pelajaran agama Konghucu di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. UGM menjadi satu-satunya perguruan tinggi
yang tetap mengajarkan Konghucu. Diiringi kemudian catatan sipil tidak bersedia
mencatan pernikahan agama Konghucu.[36]
Dengan
kebijakan tersebut, kelompokkelompok keyakinan lokal, termasuk penganut Agama
Konghucu, dihadapkan dengan pilihan dilematis antara konversi menjadi penganut
agama lain yang dianggap resmi (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha),
atau siap-siap diciduk aparat dengan tuduhan tidak beragama atau Komunis. Dalam
suasana kaotik itulah terjadi konversi besar-besaran dengan persaingan
proselitasi ke dalam agama-agama resmi Negara lainnya.
Konversi
besar-besaran saat itu diperkirakan terdapat 2 (dua) juta penduduk yang terdiri
Konghucu dan agama lokal (Kejawen dan sebagainya) ke dalam agama Kristen.
Peristiwa tersebut menyebabkan hubungan antara Islam dan Kristen masuk fase
ketegangan baru. Isu yang berkembang Kristenisasi dan pemurtadan. Sebab saat
itu jumlah pengikut Kristen yang semula hanya 2-3 persen, berubah menjadi lebih
kurang 6-7 % dari total penduduk Indonesia. Menurut Sensus Penduduk tahun 1971
pengikut Kristen di Indonesia sebanyak 7.39%.[37]
Penambahan
jumlah penduduk penganut Agama Kristen yang demikian fantastis menimbulkan
perasaan tidak nyaman bagi kelompok Islam, bersamaan adanya usulan pembangunan
sebuah Gereja Metodis di Meulaboh Aceh tahun 1967. Kemarahan umat Islam di
beberapa daerah tidak terbendung, seperti Aceh, Sumatera Selatan, Ujung Pandang
(Makassar). Terjadi aksi pengerusakan sekolah Kristen di Jakarta. Pada 1969
juga merebak di beberapa daerah di Jawa, antara lain melalui pertunjukkan
pembakaran gereja. Dan inilah konflik politik agama antara agama lokal dan
Islam melibatkan Kristen yang berubah menjadi tidak kekerasan pertama antara
Islam dan Kristen terjadi pada era Orde Baru.[38]
Pada fase
inilah hubungan antara IslamKristen menghadapi masa-masa genting panjang, yang
jejaknya dapat dirasakan hingga saat ini. Lebih jauh kemudian kelompok Islam
melihat dengan penuh curiga dan mewaspadai Kristen. Wilfred Centwell Smith
sebagaimana dikutip oleh B.J. Bolland menyatakan:
“…tidak pernah
terjadi dimanapun di lingkungan dunia Islam (mungkin dengan pengecualian di
Indonesia), kaum Muslimin merasa bahwa rekan senegaranya yang bukan beragama
Islam, ‘sebagian dari kita’. Dan dimanapun kaum minoritas tidak merasa
diterima.”[39]
Merespons
berbagai konflik dan kekerasan atas nama agama khususnya antara Islam dan
Kristen dengan segala kecurigaan masing-masing, sekaligus perasaan saling
terancam (threatened feeling). Kelompok Islam menggunakan isu “Kristenisasi”,
sementara di pihak Kristen mencurigai bahwa Islam selalu berupaya menegakkan
negara Islam. Kemudian atas prakarsa beberapa anggota DPR RI saat itu, antara
lain Lukman Harun yang juga pengurus Muhammadiyah mengajukan hak interpelasi
agar pemerintah mengatur cara-cara pembangunan rumah ibadah dan penyiaran agama
di Indonesia.[40]
Atas dasar
itulah, pemerintahan Orde Baru melalui Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan SKB tentang Pendirian Rumah Ibadah. Adapun alasan yang digunakan
bahwa rumah ibadah secara fisik menunjukkan eksistensi suatu agama. Sejak saat
itulah diskusi soal pendirian rumah ibadah dan hubungan antaragama menjadi
sangat krusial. Dengan Argumen mencegah konflik yang berkaitan dengan pendirian
tempat ibadah inilah lahirlah SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
membuat Keputusan Bersama No. 01/ber-Mdn /1969, 13 September 1969, yang
mengatur pendirian tempat ibadah.[41]
Aturan ini
berisi di antaranya soal izin dari pemerintah dan masyarakat sekitar untuk
mendirikan suatu rumah ibadah, serta syaratsyarat jumlah anggota jamaah yang
selayaknya memiliki tempat ibadah. Aturan ini, terutama oleh umat Kristen,
dianggap membatasi kebebasan beribadah.[42]71 Namun demikian, aturan
pendirian rumah ibadah yang pertama ini bukan hanya berdampak diskriminatif
bagi kelompok-kelompok minoritas agama pendatang, tetapi juga berdampak pada
penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam mendirikan sarana
persujudan mereka.
Perseteruan
antara dua musuh bebuyutan, Islam dan Kristen tersebut, direspons oleh
pemerintah Orde Baru dengan melahirkan wacana dialog antar agama dan kebijakan
tatacara penyebaran agama. Penguasa Orde Baru melalui pidatonya menjelaskan:
“Pemerintah
ingin menegaskan dan memberikan jaminan, bahwa pemerintah tidak akan
menghalang-halangi suatu usaha penyebaran agama. Adalah tugas yang mulia bagi
suatu agama untuk membawa mereka yang belum beragama, yang masih terdapat di
Indonesia, menjadi pemeluk agama yang yakin. Dengan demikian, maka berarti pula
telah melaksanakan secara kongkret sila Ketuhanan Yang Maha Esa”.[43]
Presiden
Soeharto dalam pidatonya secara eksplisit mengapungkan istilah “belum
beragama”. Tema ini segera menjadi isu popular utamanya di kalangan Islam
maupun Kristen sesama agama misionaris. Pertanyaannya siapa yang dianggap
masyarakat belum beragama? Frasa belum beragama lagi-lagi menyasar mereka yang
beragama namun tidak diakui atau tidak menjadi agama resmi negara. Lebih tegas
kemudian, pengakuan dan pengesahan hanya ada enam agama resmi negara
dikeluarkan melalui Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967, sebagai penegasan
yang disebutkan secara eksplisit dalam UU No. 1/1965 tentang PNPS.
Pada situasi
ini Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa menghadapi persoalan pelik. Di
satu sisi ia harus melindungi keyakinan komunitasnya dari gerakan agamaisasi,
utamanya Islam dan Kristen, sedang di sisi lainnya pemerintahan Soeharto sangat
membatasi ruang gerak Kepercayaan, meskipun Soeharto sendiri sebenarnya
abangan.
Menghadapi
gempuran dari dua arah besar, meskipun tertatih, kelompok Kepercayaan terus bertahan.
Berdasarkan penelitian Kejaksaan Agung melalui lembaga Lembaga Penelitian
Pengembangan Aliran Masyarakat (LPPAM), pada 1971, terdapat sebanyak 282 Aliran
Kepercayaan Masyarakat. Melihat fenomena itu, melalui kajian lembaga watchdog
yang disebut PAKEM, Jaksa Agung membekukan 167 agama lokal/kebatinan. Pembekuan
terhadap agama lokal tersebut, selain didasari oleh hasil penelitian PAKEM,
disinyalir juga didasarkan tekanan dari anggota Senat IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta atas penolakanyya terhadap penafsiran UUD Pasal 29 ayat (2) bahwa
“Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” sebagai “Kebatinan seperti yang
diusulkan dalam Konggres I kelompok kebatinan.[44]
Pembekuan dan
pelarangan aktivitas penghayat Kepercayaan ternyata tidak menyebabkan mati atau
berhenti melakukan aktivitas agamanya. Bahkan meskipun pada 1972, Kementerian
Agama (Departemen Agama) secara tegas meminta kepada pemerintah agar dilakukan
pemisahan antara kelompok agama-agama impor dan agama lokal, pada 1972
Kejaksaan Agung melansir informasi tedapat 427 kelompok penganut agama lokal.
Di lain pihak, Pemerintah melalui Kejaksaan juga memperketat persyaratan untuk
kelompok penghayat yang disitilahkan sebagai “Aliran Kebatinan”, namun agama
lokal tetap tidak surut.
Jaksa
Purwanto, SH, misalnya, mengusulkan adanya aturan tentang persyaratan pengakuan
terhadap aliran kebatinan antara lain harus tidak berasal dari luar negeri,
namun agama lokal terus hidup dan bergerak. Bahkan untuk kasus Jawa Tengah
berdasarkan keterangan Jaksa Sugiri, SH terdapat 327 aliran. Pada 1972 inilah
jumlah kelompok penganut kepercayaan menurut catatan Sekretariat Kerjasama
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berada pada puncak tetingginya, yakni
sebanyak 644 yang tersebar di seluruh Indonesia.[45]
Persebaran
kelompok Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa saat itu meliputi: di seluruh
Jawa Tengah terdata sebanyak 257 organisasi, di seluruh Jawa Barat terdata
sebanyak 83 organisasi, di seluruh Yogyakarta sebanyak 70 organisasi, di
seluruh Jawa Timur sebanyak 55 organisasi, di seluruh Sumatera terdapat
sebanyak 96 kelompok organisasi, di Indonesia Timur sebanyak 26 organisasi dan
di Indonesia Tengah terdata 112 kelompok. Jumlah ini disinyalir angka tertinggi
dalam sejarah keberadaan kelompok agama lokal.[46]
Terus
menggeliatnya kelompok Kepercayaan membuat pemerintah gusar. Pada 1973, melalui
TAP MPR No. IV MPR/1973 tepatnya 22 Maret 1973 pemerintah merumuskan tata cara
pengesahan keyakinan bangsa Indonesia harus atas dasar Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.[47] Maka perikehidupan
beragama dan perikehidupan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi
dasar kebebasan menghayati dan mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai
dengan falsafah Pancasila. Dengan kata lain, menurut persepsi pemerintah bahwa
pembangunan agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ditujukan agar
pembinaan suasana hidup rukun diantara sesama umat beragama dan kerjasaman
antar sesama penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YME dapat meningkatkan amal
bersama membangun masyarakat.
Dalam suasana
kecemasan yang tumpang tindih antara kecurigaan terhadap Kristenisasi pada satu
sisi, dan fenomena maraknya kelompok agama lokal atau yang dalam wacana
kelompok Islam disebut sebagai aliran kebatinan pada sisi lainnya, DPR RI
mengesahkan UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Multhuf Siraj menjelaskan
bahwa lahirnya UU perkawinan sebagai bentuk reaksi keras umat Islam sebagai
respons teologis dan politis terhadap dua suasana politik hubungan Islam dan
negara saat itu,[48]
yakni: Pertama, menurut kelompok Islam Politik sejak Partai Politik Islam
mengalami kekalahan pada Pemilu 1971, gejala depolitisasi Islam mulai tampak,
sehingga umat Islam sangat mengkhawatirkan eksistensi mereka dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Apalagi pada saat itu pemerintah menghimbau untuk
tidak menggunakan kata Islam dalam PPP hasil fusi.[49]
Kedua, umat
Islam sangat cemas akan isu Kristenisasi yang mulai mencuat sejak tahun
1970-an. Sebagian kelompok Islamis menuduh di balik Rancangan Undang-Undang
Perkawinan itu ada tendensi terselubung, yakni usaha untuk mempermudah upaya
kristenisasi di Indonesia.[50] Dari rancangan undang
undang tersebut terdapat indikasi kuat bahwa pemerintah menghendaki perkawinan
dipahami dalam konteks hubungan keperdataan saja dan terlepas sama sekali dari
ketentuan hukum agama. Dengan kata lain pemerintah mencoba melakukan
sekularisasi perkawinan oleh negara.
Dalam UU No.1
tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 2 ayat (1) dirumuskan bahwa
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
Kepercayaannya itu”. Pada pasal ini secara tegas bahwa pernikahan dinyatakan
sah apabila dilakukan menurut agama dan Kepercayaan.[51] Meskipun terjadi
perdebatan seputar apa yang dimaksud dengan “Kepercayaannya” itu, kelompok
agama lokal masih menganggap bahwa itu ruang yang diberikan bagi mereka dalam
hal perkawinan yang sah menurut tata cara agama lokal. Hal ini semakin
diperkuat ketika pada 1975, Sidang Kabinet 24 Juni bidang Kesra memutuskan,
bahwa formulir KTP maupun formulir lainnya yang mencantumkan kolom agama, untuk
selanjutnya diubah menjadi kolom “Agama/Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa”.[52]
Namun dalam
tataran implementasi, pemahaman tentang “Kepercayaan” dalam UU tersebut tidak
persis sama yang dipahami oleh kelompok penghayat Kepercayaan. Pemahaman
kolompok agama dominan bahwa yang dimaksud dengan Kepercayaan adalah
“keyakinan” yang ada dalam agama. Itu sebabnya pada 1977 muncul protes atas
definisi agama yang mengacu pada pengertian akademik, dimana agama harus
memiliki konsep Ketuhanan, Kitab Suci, Nabi dan tersebar di luar negeri.[53]
Dalam konteks
perdebatan definisi agama yang sah atau agama yang diakui oleh negara yang
kembali mengemuka dan memanas, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran
No. 477/74054/ BA.01.2/4683.95 tahun 1978. Dalam surat Edaran Mendagri tersebut
secara tegas pemerintah hanya mengakui lima agama resmi yang diakui secara
resmi (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha dengan menghilangkan
Konghucu dari daftar agama resmi). Maka kebijakan ini secara implisit telah
memberikan ruang bagi kelompok yang dianggap tidak beragama resmi sebagai lahan
atau obyek penyebaran dakwah atau misi agama-agama resmi terutama Islam dan
Kristen. Masih pada tahun yang sama, pernyataan bahwa kelompok Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama
dikukuhkan melalui dokumen resmi pada 1978 lewat TAP MPR No. IV/MPR/1978
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.[54]
Dalam
perkembangannya, kebijakan negara untuk menetapkan bahwa kelompok Kepercayaan
lokal bukan agama, diikuti dengan penegasan bahwa kelompok Kepercayaan lokal
“belum beragama”, dengan penyebutan itu menurut Jane Monig Atkinson: “Kata
‘belum beragama’ berarti bentuk imperatif bagi orang yang belum beragama untuk
menerima dan masuk ke dalam agama-agama yang diakui resmi oleh Negara.”[55] Dengan pengunaan kata
belum beragama, negara atas nama kepentingan kelompok dominan telah membukakan
jalan imperialisme dan/atau penindasan terhadap kelompok-kelompok agama atau
Kepercayaan lokal, sebab logika yang kemudian terbangun di dalam agama
dakwah/misionaris adalah bahwa kelompok agama dan kepercayaan lokal menjadi sah
sebagai ladang misi atau dakwah baik oleh Islam maupun Kristen.[56]
Lebih jauh,
dengan kekuasaan yang dimiliki, Kementerian Agama menurut Niels Mulder kemudian
merumuskan definisi minimum tentang “agama”. Definisi tersebut menjadi definisi
resmicsampai sekarang.[57]86 Konstelasi politik
inilah yang mendorong Depag pada tahun 1961 mengajukan definisi “agama”.
Suatu “agama”,
menurut definisi itu, harus memuat unsur-unsur penting ini: Kepercayaan pada
Tuhan Yang Maha Esa, ada nabi, kitab suci, umat, dan suatu sistem hukum bagi
penganutnya. Tentu saja, dengan definisi seperti itu, banyak kelompok
Kepercayaan, kebatinan, atau kelompok-kelompok masyarakat yang masih mempertahankan
adat istiadat dan praktik-praktik religi lokal, seperti animisme, dinamisme,
tidak tercakup di dalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai orang yang
“belum beragama”.
Selain itu,
kebijakan intervensi negara terhadap agama melalui penetapan agama resmi dan
intervensi penafsiran akan agama yang benar, jelas telah memakan korban
terhadap kelompok-kelompok keyakinan dalam satu agama itu sendiri. Kasus yang
menimpa kelompok keyakinan lokal yang menjadi sasaran kerja dari Kementerian
Kehakiman dengan BAKORPAKEM (Badan Koordinasi dan Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat) yang didirikan pada tahun 1954, dimana salah satu tugasnya
memberikan atau menolak izin bagi aliran Kepercayaan yang melakukan kegiatan,
termasuk kegiatan rutin organisasi.
Selain
kelompok Kepercayaan yang menjadi korban, dengan adanya Bakorpakem keyakinan
kelompok agama non-mainstream dalam Islam sendiri juga menjadi korban
pelarangan. Antara lain: Islam Jama’ah, Ahmadiyah, Darul Arqom, Islam Wetu Telu
dan lainnya. Sementara dalam agama Kristen juga berkembangnya sekte-sekte
seperti Advent Hari Ke tujuh, kelompok Pantekosta, Saksi Yehuwa dan sebagainya
yang juga menjadi targer pelarangan. Namun karena desakkan tidak sebesar yang
terjadi dalam Islam, sekte-sekte Kristen bisa berkembang hingga mencapai 300
kelompok (Dokumen Kejagsaan Agung 1982).
Pada tempat yang
berbeda, bersamaan dengan maraknya perdebatan seputar belum beragamanya
terhadap agama lokal, pada 1978, Menteri Agama juga mengeluarkan surat edaran
No. B.VI/11215 /978 tertanggal 18 Oktober 1978 yang ditujukan kepada Gubernur
seluruh Indonesia yang isinya menjelaskan
tentang Kelompok Kepercayaan/Kebatinan. Dalam surat edarat tersebut,
Kementerian Agama menjelaskan “Penguburan adalah menyangkut keyakinan agama,
maka dalam negara republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal
adanya tatacara penguburan menurut aliran Kepercayaan dan tidak dikenal pula
adanya penyebutan “Aliran Kepercayaan” sebagai agama baik dalam KTP dan
lain-lain. Disusul kemudian dengan Intruksi Menteri agama No.4 tahun 1978. Pada
instruksi tersebut Kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan
Agama”.[58]
Berangkat dari
ketetapan tersebut, Menag mengeluarkan Instruksi No 4 dan 14 tahun 1978 yang
menggariskan kebijakan inti mengenai aliran Kepercayaan, dan melayangkan surat
kepada para gubernur dan bupati/walikota menyangkut berbagai aspek aliran
Kepercayaan. Seluruh kebijakan ini secara sistematis telah meminggirkan kelompok-kelompok
yang digolongkan “belum beragama” itu, dan menafikan hakhak sipil mereka
sebagai warga negara yang setara di muka hukum. Dalam Surat Edaran Menag No.
B/5943/78 yang ditujukan kepada Gubernur Jatim, misalnya, disebutkan: “Karena
aliran Kepercayaan bukan merupakan agama dan merupakan kebudayaan berarti bahwa
orang yang mengikuti aliran Kepercayaan tidaklah kehilangan agamanya yang
dipahami dan dipeluknya, sehingga tidak ada tata cara sumpah, perkawinan, dan
sebagainya menurut aliran Kepercayaan”.[59]
Hal yang sama
ditegaskan dalam surat Menag No. B.VI/11215/1978 yang ditujukan kepada Gubernur
KDH I seluruh Indonesia. Dalam surat yang disebut terakhir ini secara eksplisit
dinyatakan: “…dan mengingat pula bahwa masalah-masalah penyebutan agama, perkawinan,
sumpah, penguburan jenazah adalah menyangkut keyakinan agama, maka dalam negara
RI yang berdasar Pancasila tidak dikenal adanya tatacara perkawinan, sumpah dan
penguburan menurut aliran Kepercayaan, dan tidak dikenal pula penyebutan
‘Aliran Kepercayaan’ sebagai ‘agama’ baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan
lain-lain.”[60]
Setelah
keluarnya instruksi Departemen Agama yang mendesak agar kelompok kebatinan
kembali kepada agama induknya, pemerintah terus-menerus mengeluarkan kebijakan
pelarangan terhadap agama lokal. Pada tahun 1979, Menteri Agama kembali
mengeluarkan Instruksi No. 8 tahun 1979, yang isinya tentang pelarangan bagi
organisasi dan aliran dalam Islam yang bertentangan dengan ajaran Islam.[61]
Persoalanya
kemudian menjadi rancu. Dalam konteks Indonesia pengaturan kehidupan beragama
bukan semata-mata menjadi kewenangan Kementerian Agama. Sebab selain
Kementarian Agama, urusan pengaturan kehidupan beragama juga menjadi urusan
Kementerian Pendidikan dan kebudyaan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Kesejahteraan Rakyat bahkan Kejaksaan Agung. Akibatnya seringkali di tingkat
kementerian sendiri seringkali terjadi tumpang tindih atau bahkan tidak sinkron
dalam membangun kebijakan pengaturan agama. Di satu pihak Kementerian Agama
mengeluarkan instruksi yang intinya tidak mengakui keberadaan agama lokal,
namun Menko Kesra pada 30 Juni 1980 mengeluarkan surat yang ditujukan kepada
Menteri Dalam Negeri dengan nomor B-310/MENKO/ KESRA/VI/1980, isinya memutuskan
agar perkawinan kelompok penghayat dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil
setempat.[62]91 Namun kebijakan itu
hanya berjalan beberapa tahun, karena sejak tahun 1985 kebijakan tersebut tidak
berlaku lagi.
Sementara di
tempat berbeda, di DPR RI juga terjadi pertarungan politik yang tidak kalah
sengitnya dibanding di tingkat kementerian dalam merespons eksistensi agama
lokal. Tahun 1985 lahir Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang memberikan kedudukan organisasi penghayat Kepercayaan sama
dengan organisasi profesi, organisasi fungsi dan organisasi agama.
Dalam kaitan
ini kembali mengutip dari Robert W. Hefner, Penguasa tertinggi rezim Orde Baru
terhadap kelompok Penghayat sikapnya berubah-ubah. Soeharto secara pribadi
terkadang terlihat begitu mesra dengan kelompok Kejawen, sehingga membuka
peluang bagi pimpinan kelompok Penghayat Kepercayaan mengajukan gagasan agar
kelompok penghayat disejajarkan dengan agama-agama yang diakui atau menjadi
agama resmi negara. Namun di pihak lainnya Soeharto menyatakan bahwa kelompok
penghayat bukan agama yang sah sehingga terkadang harus dibatasi. Bahkan
penguasa Orde Baru mempersulit kalangan kelompok penghayat Kepercayaan,
khususnya Kejawen untuk mempromosikan sistem keyakinan dan Kepercayaan mereka
sebagai alternatif publik terhadap Islam normatif.[63]
Ambivalensi
atau sikap mendua penguasa Orde Baru terhadap kelompok penghayat menimbulkan
kesulitan tersendiri bagi kalangan penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa atau agama lokal. Soeharto terkadang sangat akrab dan dianggap benteng
pertahanan yang membela keberadaan kelompok-kelompok penghayat Kepercayaan
tersebut, namun pada sisi lain terkadang kelompok agama lokal ini harus
kehilangan Soeharto sebagai benteng pembela agama lokal. Puncak yang dianggap
ironi menyakitkan oleh kelompok penghayat Kepercayaan terhadap ketergantungan
Kejawen kepada Soeharto terjadi pada akhir tahun 1980-an. Dalam pidatonya tahun
1988, Presiden Soeharto meminta organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa untuk kembali kepada agama induknya. Ajaran-ajaran mistik menurut
Soeharto seharusnya tidak menjadi alternatif bagi agama induk.[64]
Meskipun
pandangan Presiden Soeharto ditolak oleh kelompok penghayat Kepercayaan, namun
tidak banyak yang bisa dilakukan oleh agama lokal ini. Dalam suasana tersebut,
kroni-kroni Soeharto dari kalangan penasehat spritual mistik presiden kembali
mendorong presiden untuk tetap mengakui eksistensi mereka. Atas bisikan
tersebut, akhirnya Soeharto membuat pernyataan, meskipun pemerintah menolah
ajaran mistik menjadi alternatif normatif dari ajaran agama yang diakui, namun
organisasi mereka akan tetap diakui dan akan berada dalam kontrol pemerintah.
Di tengah
polemik pencatatan perkawinan bagi komunitas penghayat, jumlah organisasi yang
terdata justru menguat. Pada 1993 KaHumas Kejagung RI Suparman, SH,MH
menyatakan bahwa sejak tahun 1942-1992, terdapat 517 aliran Kepercayaan yang
‘mati’ di seluruh Indonesia.[66] Atas pernyataannya itu
melalui Bakorpakem Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan yang intinya menjelaskan
bahwa “Sesat dan tidaknya suatu aliran keagamaan ditentukan oleh pertemuan yang
disebut Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Pihak Kepolisian baru
memiliki wewenang untuk menindak para pengikut aliran jika rapat Pakem yang
terdiri dari Aparat Kejaksaan, Departemen Agama, Pemerintah.
Daerah dan
kepolisian telah menentukan bahwa suatu kegiatan keagamaan dianggap sebagai
aliran sesat. Selanjutnya pelarangan kegiatan oleh Kejaksaan Agung.
Disusul
kemudian pada Oktober 1995 Dirjen PUOD Sumitro Maskun, bertindak atas nama
Mendagri mengeluarkan Surat Nomor: 474.2/3069/ PUOD tanggal 19 Oktober 1995
ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta dengan tembusan kepada Gubernur di
seluruh Indonesia, yang mencabut kembali (menganulir) surat Mendagri di atas
yang isinya perkawinan pasangan penghayat tidak dapat dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil, walaupun telah dikukuhkan dengan Penetapan Pengadilan Negeri.[67]96 Hal ini di Jawa Barat
diperkuat oleh Surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Barat.
Kerumitan
serta kerancuan penempatan kelompok agama lokal oleh pemerintah Orde Baru di
bawah pimpinan Presiden Soeharto telah melakukan apa yang dapat dikenal sebagai
politik perukunan untuk meminjam istilah Tresno S. Sutanto. Politik perukunan
dipahami sebagai bagaimana kekuasaan negara “menciptakan dan mengatur”
persoalan kerukunan antarkelompok keagamaan demi menjaga stabilitas yang
diperlukan untuk pembangunan nasional. Atau bagaimana paham kerukunan
dikembangkan, dirumuskan, disebarluaskan, dan dipakai sebagai kebijakan negara
dalam “membina kehidupan umat beragama”.[68]
Politik
perukunan yang dibangun oleh Soeharto paling tidak memiliki dua tujuan.
Pertama,
terwujudnya pembangunan stabilitas politik dan ekonomi, sehingga mendorong
setiap warga masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Melalui isu ini, siapapun
yang mengawali membicarakan atau mempersoalkan isu yang dipopulerkan oleh Pangkopkamtib
Sudomo dengan mudah dicurigai dan atau bahkan dituduh sebagai sisa-sisa PKI.
Sehingga sepanjang era rezim Orde Baru memperdebatkan agama atau yang oleh
Sudomo disebut SARA, dituduh melawan pembangunan, melawan stabilitas dan
akhirnya dituduh melawan Pancasila. Kedua, politisasi agama berangkat dari
asumsi bahwa kerukunan hidup beragama merupakan syarat mutlak bagi persatuan
dan kesatuan bangsa, stabilitas dan keamanan nasional, oleh karena itu
pemerintah memandang perlu memberikan pembinaan dan bimbingan guna memperlancar
pengembangan agama serta melakukan pengawasan agar setia penduduk dapat
melaksanakan dan mengembangkan ajaran agama dengan lancar, tertib dan dalam
suasana rukun.[69]
Berdasarkan
beban kronologis tersebut, produk kebijakan yang dibangun pasca kemerdekaan
hingga akhir orde baru dapat dikelompokkan dalam diagram berikut[1], datadata ini diolah dari
berbagai sumber yang juga telah dilakukan oleh beberapa lembaga antara lain
HRWG, Komnas HAM, dan beberapa sumber lain dalam upaya advokasi hak-hak
konstitusional agama lokal nusantara. Adapun klaster persoalan umum yang
dihadapi oleh kelompok agama lokal adalah:
No
|
Poin
Diskriminasi
|
Regulasi
Yang Digunakan
|
Dampak
|
1.
|
Penolakan
pengakuan identitas sebagai penghayat Kepercayaan
|
Surat
Edaran Mendagri No: 477/74054 tanggal 18 November 1978 Instruksi Menteri
Agama RI No: 14 tahun 1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama No:
4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliranaliran Kepercayaan. Dua
instruksi di atas berangkat merupakan kelanjutan dari paradigma UU No. 1/PNPS
/1965 dan penegasan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978 melandasi seluruh kebijakan
yang diambil negara terhadap penghayat.
|
Eksistensi
Kepercayaan sejak keluarnya surat edarat dua menteri tersebut yang
menggunakan logika UU PNPS selalu dipermasalahkan bahkan didiskrimi-nasi
sejak lahir sampai mati
|
2.
|
Kasus
hilangnya hak mendapatkan status sebagai TNI atau Polri
|
UU-28/1997
tentang Kepolisian Negara RI. Undang-undang ini sudah tidak berlaku dengan
lahirnya UU Kepolisian yang baru. Pasal rawannya adalah: “Pasal 15 ayat (1)
butir h, yang tendensius dengan
kecurigaan seolah-olah aliran Kepercayaan (yang selalu diartikan pada
masyarakat penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME) dapat menimbulkan
perpecahan dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa”.
|
Meskipun
UU ini sudah diganti namun hak dan kewajiban ikut berpartisipasi untuk bela
negara dengan menjadi TNI atau Polisi dihalangi
|
3.
|
Menyangkut
pencatatan perkawinan bagi penghayat di Kantor Catatan Sipil dan“tatacara
sumpah perkawinan dan sebagainya hanya ada menurut agama sesuai dengan
peraturan perundang, undangan yang berlaku.”
|
UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perwakinan. Dikuatkan dengan: Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri No. 477/ 74054 tanggal 18 November 1978 perihal petunjuk
pengisian kolom “agama” pada lampiran SK Mendagri No: 221a/1975 tentang
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Surat Menteri
Agama kepada
|
Perkawinan
pasangan kelompok penghayat tidak bisa dicatatkan, sebab menurut ketentuan
surat ini, “dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak
dikenal adanya tatacara sumpah perkawinan aliran Kepercayaan.
|
4.
|
Penolakan
pencatatan akte kelahiran anak bagi pasangan penghayat
|
Menko
Kesra No: B.336/ MENKO/KESRA/VII/198 tanggal 16 Juli 1980 perihal
Penyempurnaan formulir Sensus penduduk. Diperkuat dengan Radiogram Depag
sebelumnya No: MA/610 /1980 kepada seluruh Kepala Kanwil Depag di seluruh
Indonesia tanggal 22 September 1980.
|
Anak-anak
keluarga penghayat selain tidak bisa mendapa-tkan hak pendidikan sesuai
dengan agama dan keyakinannya namun juga dipaksa mengikuti pelajaran agama
dominan. Pada bagian lain mereka juga mendapat stigma anak PKI dan atheis. Di
beberapa daerah pasangan keluarga yang menikah dalam agama lokal harus
membuat surat pernyataan anak di luar
nikah
|
5.
|
Penolakan
dan hambatan dalam urusan pemakaman bagi warga penghayat
|
Surat
Menteri Agama kepada para Gubernur/ KDH Tingkat I seluruh Indonesia No:
B.VI/11215 /1978 tanggal 18 Oktober 1978 perihal Masalah Penyebutan Agama,
Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi Umat Beragama yang dihubungkan
dengan Aliran Kepercayaan
|
Banyak
kasus jenazah warga penghayat tidak bisa dikuburkan di pemakaman umum karena
menurut ketentuan surat ini, “Dalam Negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila tidak dikenal adanya
penguburan menurut Aliran Kepercayaan, dan tidak dikenal pula
penyebutan Aliran Kepercayaan’ sebagai ‘Agama’ baik dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan lain-lain.
|
6.
|
Penolakan
pendirian tempat peribadatan atau persujudan bagi warga penghayat
|
SKB
Menagama dan Mendagri membuat Keputusan Bersama No. 01/ber-Mdn/ 1969, 13
September 1969, yang mengatur pendirian tempat ibadah. SKB ini kemudian diperbaharui pada era
Reformasi dengan munculnya PBM tentang pendirian rumah ibadah
|
Selain
kelompok agamaagama “minoritas” yang kesulitan mendirikan rumah ibadah,
kelompok agama lokal juga sulit mendirikan tempat persujudan
|
7.
|
Pengisian
kolom agama sesuai dengan agama dan keperca-yaannya pada KTP
|
Surat
Keputisan Menko Kesra No: B.310/MENKO/ KESRA / VI/1980 tanggal 30 Juni 1980
dan Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No: B.VI/ 5996/1980
tanggal 7 Juli 1980 perihal Perkawinan, Kartu Penduduk dan Kematian para
Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa
|
Kelompok
Agama Lokal tidak bisa mengisi kolom agama sesuai dengan agama dan
Kepercayaannya. Prihal pengisian kolom agama beberapa kali mengalami
perubahan, semula dilarang sama sekali, kemudian boleh dikosongkan atau
ditulis tanda strip (-)
|
8.
|
Kebebasan
berekspresi dan pengembangan diri bagi komu-nitas penghayat
|
Keputusan
Jaksa Agung RI No: KEP, 108/ J.A./5/ 1984 tentang pembentukan Tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Diperbaharui dengan Surat Keputusan
Jaksa Agung RI No: Kep. 004/ J.A./ 01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM
|
Komunitas
agama lokal sengaja dikerdilkan atau dibasmi, dalam hal ini Tim PAKEM
bertugas meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu Aliran
Kepercayaan untuk mengetahui dampaknya bagi Ketertiban dan Ketentraman Umum”,
serta “dapat mengambil langkah, langkah aktif dan preventif sesuai dengan
ketentuan perundangundangan yang berlaku” (pasal 3, butir b dan d)
|
[1] Istilah agama lokal
sebenarnya kurang tepat disebut. Bukankah setiap agama dahulunya disebarkan di
wilayah lokal dahulu, bahkan kerabat dekat? Tidak mustahil yang hari ini
disebut agama lokal suatu saat go internasional. Dan bukankah Susila Budhi
Dharma warisan Mbah Subuh sudah go internasional. Semua pendiri agama kelahiran
Nusantara juga tidak pernah membatasi asal negara pengikutnya.
[2] Daniel Dhakidae (2003). “Cendikiawan dan
Kekuasaan dalam Negara Orde Baru”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama., h.
530.
[3] Ibid.
[4] Anas Saidi, dkk., op.cit., h. 33-3
[5] Dhakidae., op.,cit., h. 559.
[6] Dhakidae., ibid.
[7] Dhakidae, op.cit., hal. 560. Lihat juga
pernyataan Kahumas Kejagung RI Soeparman, SH.MH, yang menyatakankan sejak tahun
1949 hingga tahun 1992 terdapat 517 aliran Kepercayaan yang ‘mati’ di seluruh
Indonesia. Dalam Kompas. 5 Agustus 1993.
[8] Baehaqi (2002), h. 11.
[9] Hamidi (2001) h. 136.
[10] Jean Monig Atkinson (1978). “Religion and
Dialogue, The Construction of an Indonesian Minority Religion; dalam Rita Smith
Kipp dan Susan Rogers (eds). Indonesia Religion in Transition. Tucson: The
University of Amazon Press., h. 77.
[11] 38 Zainal Abidin
Bagir (2011). “Pluralisme Kewargaan, Arus Baru Politik Keragaman di Indonesia”.
Bandung. Mizan., h. 117.
[12] Sudarto., op.,cit., h. 66, Lihat juga
risalah lengkap Persidangang BPUPKI, Syafroedin Bahar, dkk. Sekretariat Negara
RI, 1995., h. 255.
[13] Banawiratma, JB, dkk (2010).”Dialog
Antarumat Beragama dan Praktek di Indonesia.” Bandung: Mizan., h.87.
[14] Karl Steenbrink (1995). “Kawan dalam
Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942).” Bandung:
Mizan., h. 233.
[15] Subagya., op.cit., h.9.
[16] Subagya., op.,cit.,
h.116. Definisi agama tersebut menurut catatan sejarah diusulkan oleh DR. Mukti
Ali yang belum lama kembali dari studi di Amerika di bawah asuhan Prof. Wilfred
Centwell Smith.
[17] Subagya., op.,cit., h. 177.
[18] Niel Mulder (2005)., h. 23.
[19] Engkus
Ruswana (2014). “Kasus-kasus pelanggaran hukum dan HAM yang dialami masyarakat
adat/ Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Makalah pada seminar
jaminan hak asasi manusia dan perlindungan Hukum dan HAM di Komnas HAM RI.
[20] Ibid.
[21] Subagya., op.,cit., h. 98.
[22] Niel Mulder (1984).,
h. 6.
[23] Subagya., op.,cit., h. 99.
[24] Ibid.
[25] Hefner., op.cit., h.
101.
[26] Penjelasan umum poin 2 UU PNPN/1965 55
Penjelasan umum poin 3 UU PNPS/1965.
[27] Zainal Abidin Bagir,
Dkk., op.cit., h. 129.
[28] Dhakidae., op.,cit., h. 513.
[29] John Rossa (2008).”Dalih Pembunuhan
Massal; Gerakan 30 September 1965 dan Kudeta Soeharto”. Jakarta Hastra Mitra.,
h. 5.
[30] Ibid.
[31] Term illo tempora merupakan salah satu
model kategori ciri-ciri agama yang digunakan oleh Mircea Elliade selain dari
hieropany, axis mundi dan imago mundi.
[32] Hafner., op.cit., h. 102.
[33] Duta Masyarakat 7
Oktober 1965.
[34] BJ.
Bolland (1985).” Pergumulan Islam Indonesia 19451972”. Jakarta: Grafiti Press.,
h. 135.
[35] Ahmad Rumadi (2007).”Delik Penodaan Agama
dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUBP”. Jakarta: The Wahid Institute., h. 6-8.
[36] Ibid.
[37] Mujiburrahman (2006). “Feeling
Threthened: MuslimChristian Relation in Indonesia’s New Era”. Leiden University
Press., h. 27-28.
[38] Mujiburrahman.,
op.cit., h. 28.
[39] Bollad., op.cit., h. 234.
[40] Alwi Shihab (2007).” Membendung Arus;
Merespons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”.
Bandung: Mizan., h. 177-178.
[41] Ibid.
[42] Bolland., op.,cit., h. 111.
[43] Bolland., op.,cit.,
h. 235.
[44] Subagya., op.,cit., h. 250.
[45] Ibid.
[46] Subagya., op.cit., h. 275.
[47] Ibid.
[48] Multhuf Siraj (2012). ”Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia, Tela’ah Kompilasi Hukum Islam”. Yogyakarta; Pustaka Ilmu.,
h. 122.
[49] Abdul Azis Thaba (1996). “Islam dan
Negara Dalam Politik Orde Baru”. Jakarta; Gema Insani Press., h, 157.
[50] Ibid.
[51] Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan .
[52] Subagya., op.,cit., h. 276.
[53] Ibid.
[54] Rumadi, op.,cit., h. 8.
[55] Jean Monig Atkinson (1978), “Religion and
Dialog; The Contruction an Indonesia Minority, dalam Rita Smith Kipp dan Susan
Roger (eds). Indonesia Religion and Transition”, Tucson: The University of
Arizona., h. 117.
[56] Zainal Abdin Bagir, Dkk., op.,cit., h.
96.
[57]
Mulder., op.cit., h. 25.
[58] Subagya., op.,cit., h. 276.
[59] Sutanto., op.,cit., h. 11.
[60] Trisno Sutanto, dkk (2011). “Menuntut
Jaminan Konstitusi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa”.
Jakarta: Serial Kertas Posisi., h. 10.
[61] Ibid.
[62] Ibid, h.11.
[63] Hefner., op.,cit., h 158.
[64] Ibid.
[65] Sutanto., op.,cit., h. 11.
[66] Informasi tersebut dimuat dalam harian
Kompas. 5 Agustus 1992.
[67] Engkus Ruswana (2009). “Kasus-Kasus
Pelanggaran Hukum dan HAM yang dialami oleh Masyarakat Penghayat Kepercayaan,
yang dipaparkan di Seminar Kebebasan beragama dan Berkeyakinan dan hak
Beribadah”. Makalah tidak terbit. h. 3.
[68] Zainal Abidin Bagir, dkk., op.cit., h.
126.
[69] Hamidi, (2004),
“Sejarah Orde Baru hingga Reformasi”. Jakarta: Grafiti Press., h 123.
[70] “Kertas Posisi
Menuntut Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa”. Jakarta. HRWG bekerjasama dengan MADIA BKOK dan HPK., h. 10.
0 Komentar