Oleh Bimantara Surya
Membincangkan tatanan ideal
dalam kehidupan manusia membutuhkan sudut pandang (perspektif) serta kerangka
berpikir untuk menetapkan standard yang dipakai. Sebagai contoh, adil bagi
suatu golongan sangat mungkin tidak adil bagi kelompok, entitas atau
masyarakat yang lain. Terlebih di era sekarang ini, di mana banyak hal menjadi
paradoks. Misalnya implementasi demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang
bertujuan melibatkan aspirasi rakyat secara aktif di dalam menentukan kebijakan
negara, namun di tingkat praksis yang terjadi hanyalah sebatas rakyat telah
melakukan pemilihan wakil-wakilnya secara demokratis. Berlakulah kecenderungan
“instrumen memakan esensi”, pemilu yang seharusnya sekedar instrumen
telah menggantikan esensi dan tujuan demokrasi. Dengan nalar kapitalisme
dan liberalisme para pelaku politik telah memanfaatkan prosedur-prosedur
demokrasi untuk membajak esensi demokrasi itu sendiri. Partai-partai
politik yang seharusnya menjadi saluran demokrasi bagi rakyat menjadi sangat
pragmatis, terjebak pada ritual lima tahunan, seluruh energi dan sumber daya
habis untuk sekedar memenangi pemilu dan merebut
kekuasaan, serta mengganti jabatan. Pengusaha dan pemilik modal
membangun semacam industri yang mengkooptasi hajat demokrasi lima tahunan ini
(cukong politik) untuk memburu rente. Ini yang menyebabkan politik
berbiaya tinggi (hight cost) dan sepenuhnya transaksional. Terbentuklah
rezim (cara kerja) polyarchy-electoralism sebagai habitat
politik bagi senyawa antara pemburu rente dan oligarki
politik.
Dengan demikian sudut
pandang dan kerangka dalam berpikir menjadi sangat penting di dalam melihat
sesuatu serta merumuskan ukuran sesuatu. Tanpa itu kiranya diskursus tentang
tatanan ideal seperti keadilan, kemakmuran, kedamaian dan kesejahteraan hanya
akan berujung pada ketidakpastian, perdebatan panjang yang sia-sia. Penulis
membatasi tulisan ini pada pembahasan tentang tatanan yang selalu
diperbincangkan dan diperdebatkan cara merealisasikannya, sejak ribuan tahun
lalu yaitu keadilan dalam perspektif yang paling luas yaitu perspektif alam
semesta. Mungkin pembaca akan bertanya mengapa dan bagaimana perspektif alam
semesta.
Berguru Keadilan Pada Alam Semesta
Pandangan antroposentris
telah lama memenuhi literatur dan referensi kita maka sudah saatnya ada
alternatif perspektif lain. Antroposentris adalah pandangan yang menempatkan
manusia sebagai sentral/kiblat atau pusat kehidupan, segala sesuatu yang lain
di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang
dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai
obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam
hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Pastinya pandangan ini bersifat
sangat parsial dan demikian tercerai dari alam semesta yang sejatinya menjadi
habitat manusia hidup serta menyediakan segala kebutuhan hidupnya.
Pada puncaknya, paham ini
akan mengantarkan manusia kepada level yang paling tamak dan destruktif. Sedangkan
perspektif alam semesta melampaui pandangan antroposentris, menempatkan manusia
dan makhluk lainnya di alam semesta dalam sebuah gugusan sistem besar, di mana
masing-masing komponen mempunyai aturan main dalam bentuk tugas dan kewajiban
dalam bingkai saling melengkapi, saling mengisi, saling menguatkan, satu mata
rantai panjang mutualisme. Semua beroperasional berdasarkan tugas dan kewajiban
masing-masing, selaras, harmonis, tidak ada provokasi, tidak ada yang saling
menegasi ataupun kontradiksi/kesemrawutan.
Beroperasionalnya
masing-masing komponen secara on the track, menjadi pangkal
dari kelestarian, keseimbangan dan kesetimbangan alam semesta. Menyimpangnya
salah satu atau beberapa komponen akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan.
Inilah logika berpikir alam semesta yang mengajak seluruh komponen di dalamnya
terintegrasi dalam satu sistem yang manunggal (tauhid).
Neraca Keadilan
Alamlah tempat bergantung
neraca (standar) atas segala sesuatu, Alam Semesta adalah maha karya Tuhan
sekaligus “Kitab Besar” dari-Nya untuk umat manusia. Ia adalah wujud dari
kebenaran itu sendiri, maka ia harus dibaca sebagai alat ukur kebenaran.
Sebenarnya manusia telah menggunakan standard dari hukum-hukum yang berlaku di
alam semesta khususnya berkait fisik materi seperti mengukur suhu panas dan
dingin, mengukur ketinggian permukaan bumi, mengukur kadar air, tanah dan udara
yang layak untuk hidup, dan lain-lain, semua berdasarkan keteraturan alam
semesta. Hukum-hukum fisika yang ditemukan oleh ilmuwan hanyalah penemuan dalam
makna ‘membaca hukum alam yang berlaku dalam bidang fisika’. Seperti Newton
yang menemukan hukum E=MC² bermula dari sebuah pengamatan sederhana terhadap
apel yang jatuh ke tanah. Namun dalam aspek kehidupan moral sosial manusia
belum belajar dari alam, bahkan cenderung mengabaikan standard hukum-hukum
alam. Seperti dapat kita saksikan hari ini, dalam memanage kehidupan sosialnya
manusia lebih yakin menggunakan pendekatan, falsafah dan ideologi buatan
manusia bukan menyelaraskan dengan hukum yang telah sangat lama berlaku di alam
semesta. Dari sinilah munculnya embrio antagonisme dalam hidup dan kehidupan
manusia.
Antroposentrisme beranggapan
bahwa masalah kehidupan sosial, politik, hukum, lingkungan dan tidak perlu
sinkronisasi dan penyelarasan terhadap kehidupan alam semesta. Sehingga
masing-masing bangsa berupaya memformulasikan sendiri dalil-dalil untuk mengatur
kehidupan sosial masyarakatnya dan mengantarkannya kepada kondisi yang damai
sejahtera.
Keseimbangan, kesetimbangan,
keteraturan, kedisiplinan, keadilan, kedamaian, harmoni dalam kehidupan fisik
alam semesta ternyata adalah default outcome dari berlakunya
hukum Tuhan di alam yang diejawantahkan pada selarasnya seluruh komponen di
alam raya terhadap perannya masing-masing. Yang menarik adalah bahwa dari
seluruh komponen di alam semesta hanya satu jenis makhluk yang mempunyai
potensi untuk keluar dari aturan main baku sebagai garis edarnya, yaitu
manusia. Maka manusia diciptakan sebagai makhluk paling mutakhir dan istimewa
agar dapat membaca tatanan ideal di alam semesta kemudian menjadikannya model
tatanan ideal dalam kehidupan sosialnya. Ketika manusia telah memerankan “default role”nya di alam semesta, maka
ia akan menjadi berkat bagi semesta alam, bukan hanya dalam kehidupan manusia
yang damai sejahtera, namun seluruh alam semesta.
Kita tidak bisa menafikan
bahwa hari ini pandangan manusia menjadi demikian setidaknya disebabkan 2
faktor, pertama, pengaruh paham Barat dengan demokrasi sekulernya, dan dengan
atribut modernitas serta kemajuan IPTEKnya yang tengah menjadi sangat universal
dianut dan dijadikan model oleh hampir seluruh bangsa di dunia. Sehingga seluruh
keutamaan termasuk tatanan ideal, filsafat, ilmu pengetahuan, hukum dan
lain-lain menjadi referensi utama tanpa nalar kritis. Dunia seperti telah
mentasbihkan bahwa kemajuan dan modernitas adalah Barat, sehingga semua hal dari
sana dianggap baik tanpa mempertanyakannya secara taken for granted.
Kedua, manusia lebih banyak
meneruskan apa yang telah menjadi pandangan para pendahulunya (nenek moyangnya)
secara estafeta. Manusia cenderung abai, apa yang diwariskan oleh pendahulu
selalu kita sebut sebagai capaian, sesuatu yang luhur, maka tidak ada yang
layak diperbuat kecuali meneruskan kebiasaan tersebut termasuk sudut pandang
dan kerangka berpikir, tanpa mempertanyakannya. Namun ketika realitas empirik
di lapangan memberi kesaksian bahwa cara hidup dan kehidupan, aturan main yang
kita berlakukan dalam hidup ini tak juga mampu mengantarkan kepada tatanan
ideal tersebut di atas maka saat itulah seyogyanya ada yang berpikir kritis
mempertanyakan dan menggugat untuk kemudian merumuskan ulang tatanan ideal serta
disiplin untuk mencapainya.
Gravitasi Keadilan
Sejatinya manusia sangat
dekat dengan prinsip-prinsip keadilan namun mengapa keadilan menjadi tatanan
yang paling sulit diwujudkan di dalam hidup dan kehidupan sosial manusia?.
Sistem yang bekerja pada tubuh manusia yang sehat secara fisik, baik sistem pernafasan,
pencernaan, persyarafan, reproduksi, kekebalan dan sebagainya berpangkal kepada
prinsip keseimbangan, kesetimbangan. Ketidakseimbangan yang terjadi akan
mengakibatkan terganggunya sistem tersebut yang dalam bahasa medis disebut
gangguan kesehatan atau penyakit. Sebagai contoh, seorang dokter bisa memvonis
seseorang menderita penyakit jantung karena ia mempunyai standar jantung yang
sehat/seimbang baik anatomi fisiknya maupun kinerjanya.
Tapi para ahli politik dan
sosial belum mengambil pelajaran dari bagaimana alam semesta bekerja dan
berintegrasi. Dari sejarah peradaban sebenarnya manusia bisa belajar
hukum-hukum alam yang berlaku pada kehidupan sosialnya. Keadilan dalam
kehidupan sosial manusia juga berakar kepada keseimbangan, kesetimbangan, proporsionalitas,
nilai moral dan kebenaran menurut alam semesta, adil dalam kacamata manusia
harus diperluas spektrumnya sehingga tidak hanya adil untuk satu golongan namun
untuk umat manusia, adil untuk manusia saat ini urgen untuk diperluas menjadi
adil untuk manusia sekarang dan masa lalu, masa depan, adil untuk umat manusia
baik masa kini, masa lalu dan masa depan diperluas jangkauannya menjadi adil
juga makhluk lain, lingkungan, bumi dan alam semesta. Bagaimana dengan keadilan
menurut Tuhan? Ya dalam kitab-kitabNya Tuhan telah menjelaskan bahwa alam
semesta menjadi neraca (ukuran) keadilan untuk ditegakkan dalam kehidupan
sosial manusia. Itulah fungsi utama diturunkannya Kitab-kitab Tuhan sejak
dahulu kala.
Menurut Wikipedia Keadilan
adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus
dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial politik di seluruh dunia
berjuang menegakkan keadilan. Tapi banyaknya jumlah dan teori keadilan belum
memberikan pemikiran tentang neraca keadilan. Tidak jelas apa yang dituntut
dari ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas.
Keadilan intinya meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya (wikipedia.org).
Keadilan berasal dari
istilah adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata adil berarti tengah, adapun
pengertian adil adalah memberikan apa saja sesuai dengan haknya secara
proporsional. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu
ditengah-tengah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak
sewenang-wenang. Keadilan juga memiliki pengertian lain yaitu suatu keadaan
dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara memperoleh apa yang menjadi
haknya sehingga dapat melaksanakan kewajibannya. Sedangkan Pengertian Keadilan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu hal yang tidak berat sebelah
atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang. Menurut kamus besar bahasa
indonesia (KBBI) kata adil berasal dari kata adil, adil mempunyai arti yaitu
kejujuran, kelurusan, dan keikhlasan yang tidak berat sebelah.
Membumikan Keadilan dalam Kehidupan Manusia
Banyak definisi keadilan
menurut para filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Thomas Hobbes, Notonagoro,
Frans Magnis Suseno, dan sebagainya. Pengertian keadilan menurut definisi Imam
Al-Khasim adalah mengambil hak dari orang yang wajib memberikannya dan
memberikannya kepada objek atau orang yang berhak menerimanya. Tulisan ini
bukan dalam porsi akan menjelaskan pengertian keadilan dan macam-macam keadilan
tersebut namun berupaya menyarikan pengertian keadilan dalam kehidupan sosial
manusia secara lebih komprehensif dan luas, bukan sektarian dan parsial. Adil
adalah kata sifat yang menerangkan suatu kondisi tatkala segala sesuatu
ditempatkan dan berjalan sesuai dengan porsinya (proporsional), pas dengan
ukurannya serta tepat pada waktunya.
Adil dalam kehidupan sosial
manusia memerlukan perangkat untuk bisa menjadi realitas dan aktualitas.
Pertama hukum sebagai pelembagaan norma (nilai) yang berakar kepada nilai moral
baku yaitu kebenaran universal. Kebenaran universal adalah kebenaran hakiki
yang tidak pernah berubah oleh tempat, waktu dan zaman. Sebagai contoh
kejujuran, tidak berdusta, tidak menerima suap, tidak mencuri, tidak membunuh,
tidak iri/dengki, tidak berzina, tidak memihak, berani, tegas, bijaksana, adil
adalah kebenaran universal. Falsafah yang mendasari tata hubungan dalam
kebenaran universal adalah apa yang kita ingin orang/pihak lain lakukan pada
kita maka kita lakukan itu kepada orang/pihak lain. Peraturan perundangan dan
produk hukum lainnya harus mengejawantahkan nilai-nilai kebenaran universal
tersebut. Pembuatan peraturan perundang-undangan harus berangkat dari niat yang
tulus, tidak boleh ada motif lain, tekanan pihak tertentu atau
dorongan-dorongan pribadi, kecuali keinginan untuk mewujudkan keadilan itu
sendiri. Sanksi dari pelanggaran hukum harus setimpal tidak boleh
dirasionalisasi dengan pertimbangan non yuridis sehingga efek jera hukum memang
mengarah kepada ketertiban dan kedisiplinan hukum.
Kedua, para penegak hukum
harus menjadi bukti dari keadilan itu sendiri, menjunjung tinggi hukum dan
keadilan, walau kepada dirinya sendiri dan kerabatnya. Tidak boleh hukum
berlaku surut atau bersifat tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kewibawaan hukum
tercermin dari seberapa mampu menjamin kepastian hukum. Yang menjadi pantangan
utama bagi para penegak hukum adalah menuruti hawa nafsu, keinginan sendiri
serta memihak dan tidak independen. Para penegak hukum adalah entitas yang
paling mengerti hikmah dan kebijaksanaan, filosofi dasar yang menjadi
akar dan pondasi hukum yang diberlakukan, sehingga ketika dihadapkan kepada
permasalahan hukum yang pelik tetap mampu memutuskan perkara dengan adil dan
bijaksana. Ketiga, Pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan harus mampu
menegakkan supremasi hukum, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat ada
kepastian hukum, yang terungkap dari praktek, prioritas, dan tindakan para
penyelenggara kekuasaan. Kepastian hukum dan keadilan itulah yang akan menjamin
kehidupan manusia menjadi adil dan makmur, damai dan sejahtera.
Keempat, rakyat sebagai
entitas yang mentaati hukum seyogyanya mendapat edukasi yang layak, dari
falsafah dasar yang dianut sampai dengan hukum sehingga menjadi rakyat yang
sadar hukum. Indikasinya adalah angka individu yang terjerat permasalahan hukum
relatif rendah, karena rakyat sudah menyadari bahwa hukum dibuat bukan untuk
membatasi tapi untuk menjaga harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan itu
sendiri dan individu yang melanggar mendapat efek jera dari saksi hukum.
Lingkungan dan alam semesta
menjadi koheren dengan kehidupan manusia ketika manusia telah memberlakukan
hukum yang berintegrasi dengan hukum alam. Perspektif dan Falsafah yang dianut
manusia telah sinkron. Itulah kehidupan yang berkah bagi semesta alam.
Kehidupan yang fitrah, tidak antagonistis. Manusia tidak mengambil sesuatu dari
alam secara melampaui batas karena semua telah diatur secara jelas dan pasti,
demikian juga alam akan kembali seimbang dan produktif karena tidak dirusak
oleh keserakahan manusia.
Keluar dari Zona “Dorongan Rendah Naluriah” Manusia
Tidak dapat dipungkiri bahwa
manusia tercipta dengan keterbatasan-keterbatasan, khususnya dorongan biologis
yang sangat terikat dengan hasrat, keinginan, rasa, emosi, dan badan/tubuh.
Kecenderungan curang, tidak adil, egois, mengutamakan diri sendiri, tamak,
serakah, kikir, mudah lupa, tergesa-gesa, dengki dan lain-lain adalah
dorongan-dorongan yang sejatinya built in di dalam diri
manusia. Itulah dorongan yang disebut hasrat rendah naluriah manusia. Disebut
rendah karena cenderung mengajak kepada tingkah laku rendah secara harkat dan
martabat serta moralitas manusia, naluriah karena semua orang merasakannya
secara alamiah, baik disadari maupun tidak. Perkembangan akal budi manusia
mungkin saja dapat membantu manusia mengendalikan dorongan-dorongan tersebut
namun sedikit kemungkinan dapat mengendalikan secara konsisten. Manusia sangat
intim dengan dorongan-dorongan tersebut, inilah yang harus disadari. Artinya
harus ada upaya (effort) untuk keluar dari zona itu.
Hasrat tidak adil adalah
naluriah manusia, menjadi menarik tatkala manusia yang tercipta dengan
dorongan-dorongan naluriahnya mendapat peran untuk bersikap adil. Tanpa upaya
keluar dari zona dorongan-dorongan biologis tentu manusia tidak bisa
bersikap adil, objektif, tidak memihak, tidak berat sebelah. Seperti yang
disinggung di paragrap pertama, demokrasi yang diyakini sebagai model kekuasaan
dan pemerintahan yang ideal, memungkinkan rakyat mendapatkan haknya atas
keadilan, ternyata pada ranah implementasi, demokrasi menjadi habitat yang
menyuburkan ketidakadilan dan kesenjangan bahkan yang paling ekstrem. Upaya
yang dimaksud adalah mempelajari nilai-nilai kebenaran sejati sebagaimana
diajarkan dalam kitab-kitab Tuhan untuk memahami hakikat penciptaan manusia dan
alam semesta serta hukum (ketetapan-ketetapan) Tuhan yang berlaku dalam
kehidupan manusia dan alam semesta, mikrokosmos dan makrokosmos. Pelajaran di
dalam kitab-kitab-Nya teraplikasi dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa yang
telah berlalu, bagaimana para Nabi dan Rasul memperjuangkan berlakunya hukum
yang adil untuk menggantikan hukum yang menindas dan sewenang-wenang. Rumusan
utamanya adalah ketika hukum yang diberlakukan dalam masyarakat manusia
bukanlah hukum yang berakar kepada nilai-nilai kebenaran universal sudah pasti
bukan keadilan yang bertumbuh namun ketidakadilan dan penindasan, yang bermuara
kepada kerusakan dan kehancuran tatanan kehidupan.
Ketika antroposentrisme
menganggap kedewasaan akal pikiran dan common
sense sudah cukup bagi manusia untuk bisa bersikap baik dan adil, dalam
perspektif ini justru itu barulah sebagai wadah atau salah satu sarana untuk
bisa mengenal, mengerti, memahami dan mengaplikasikan kebenaran. Keadilan
adalah anak sulung dari kebenaran, untuk bisa menjadi adil, maka kedewasaan
akal pikiran sebagai wadah harus diisi dengan nilai-nilai kebenaran sejati.
Dengan pemahaman akan nilai-nilai kebenaran sejati manusia mempunyai ekstra
energi dan spirit di dalam kesadaran dirinya untuk melampaui zona hasrat
biologis. Hasrat yang cenderung mengajak kepada hal-hal instan, yang melihat
segala sesuatu yang terjadi termasuk ketidakadilan sebagai realitas yang memang
demikian adanya (yang senyatanya), menjadi sesuatu harus diperjuangkan
perubahannya (yang seharusnya). Itulah hikmah kebijaksanaan, hanya
dengan itu keadilan mewujud secara nyata.
0 Komentar