Oleh Bimantara Surya
Selama
ini orang meyakini doktrin bahwa bangsa Sodom yang diceritakan dalam Al Quran
maupun Bible, dibinasakan oleh Allah karena perilaku penduduknya yang
menyimpang secara seksual yaitu homoseksual, laki-laki menyukai dan
melampiaskan nafsu birahinya kepada laki-laki. Doktrin itu terus menerus
diwariskan secara turun-temurun tanpa dipertanyakan secara lebih kritis.
Sampai-sampai kata sodomi yang dikenal sebagai bentuk aktivitas seks yang
menyimpang diyakini diadopsi dari kisah Bangsa Sodom ini.
Jika
ditinjau lebih kritis dogma ini layak untuk dikritisi. Pertama mengapa Bangsa
Sodom dibinasakan karena perilaku homoseksual dari penduduknya. Apakah
homoseksual hanya terjadi di Sodom saja? Jika homoseksual juga terjadi di
bangsa lain mengapa yang dibinasakan hanya Bangsa Sodom saja? Kedua jika
perbuatan dosanya adalah homoseksual mengapa istri Nabi Luth termasuk kelompok
yang akan dibinasakan (Surat Al Ankabut ayat 32), bukankah istrinya perempuan?
Kitab-kitab
Allah mempunyai 2 gaya bahasa yaitu muhkam
(lugas, bahasa hukum yang bersifat lugas dan hitam putih) dan gaya bahasa mutasyabihat (perumpamaan/amsal/metafora).
Diperlukan pemahaman terhadap framework yang membingkai seluruh alur cerita
dalam Kitab-kitab itu yang menyiratkan warta utamanya.
Dosa
besar di dalam Kitab-kitab Tuhan selalu mengacu kepada perbuatan penyimpangan
atau pelanggaran atas hukum dan ketentuan Tuhan, dengan demikian dosa besar menurut
ajaran Tuhan dilakukan secara struktural atau berakibat secara struktural. Dengan
kata lain dosa besar selalu berkaitan dengan kemasylahatan publik. Sedangkan
dalam dogma tersebut di atas, perilaku homoseksual, yang digambarkan sebagai
sodomi lebih ke privat, yaitu penyimpangan orientasi seks beberapa atau banyak
laki-laki di Sodom. Dan cerita Bangsa Sodom (Nabi Luth) termasuk dalam qashas
(cerita sejarah sebagai teladan/ibrah) 7 kisah Bangsa yang diulang-ulang dalam
Al-Quran. Maka sangat dangkal jika permasalahan yang hendak dijadikan
pembelajaran bagi umat manusia berikutnya hanyalah orientasi seks yang
menyimpang. Bukankah perilaku menyimpang, kriminalitas, ketidakadilan dan
lain-lain itu tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri? Semua
hanya gejala yang berasal dari sesuatu yang lebih dalam, misalnya ideologi,
falsafah, cara berpikir, nilai dan norma.
Tulisan
singkat ini ingin mengajak pembaca untuk menggugat, mempertanyakan dogma-dogma
yang telah lama memonopoli pemaknaan qashas di dalam Kitab-kitab Allah sehingga
cerita-cerita di dalamnya terpisah dari realitas dan kontekstualitas kehidupan
manusia. Dengan kata lain qashas itu menjadi mitos dan dongeng orang-orang dulu
yang tidak relevan untuk dipelajari atau dijadikan referensi dalam memaknai
hidup dan kehidupan. Menjadi imperatif bagi kita untuk kemudian memaknai ulang
qashas-qashas itu sehingga qashas-qashas itu berfungsi kembali dalam
menghidupkan kesadaran manusia. Kitab-kitab Allah berisi perkataan (firman)
Allah, dalam firman itu terdapat pemahaman (ilmu) yang jika manusia mampu
menemukannya maka dia akan memiliki ruh yaitu spirit atau daya gerak. Daya
gerak itulah kemudian yang membedakan manusia yang paham wahyu (ilmu) dengan
yang tidak memahaminya. Ilmu itu akan menjadi cahaya yang menerangi sehingga
manusia tahu, mengerti, paham dan sadar akan alfa-omega penciptaan dirinya
dalam kehidupan alam semesta. Dalam kesesuaian ritme hidup manusia terhadap
bingkai besar kehidupan alam semesta itulah bergantung neraca kebenaran dan
keadilan.
Karakteristik qashas
atau cerita sejarah dalam kitab-kitab Allah adalah :
1.
Masuk
akal
2.
Mengandung
nilai petunjuk (hudan)
3.
Nilai
itu bisa diterapkan (Applicable)
Tak
ada satupun cerita, konsep, kalimat, perumpamaan dan lain sebagainya yang
bertentangan dengan logika dan akal manusia, tidak mengandung nilai petunjuk
dan tidak dapat diterapkan. Itulah bukti Kitab-kitab Allah sebagai petunjuk. Mungkinkah
Tuhan menurunkan kepada manusia, petunjuk yang tidak bisa diolahnya petunjuk
itu dengan sarana utama yang dimilikinya yaitu akal pikiran? Masuk akalkah bila
Tuhan menurunkan sesuatu yang disebut petunjuk namun di dalamnya tidak
mengandung nilai petunjuk sehingga ia tidak dapat dioperasionalkan dalam
kehidupannya?
Kisah Tujuh Bangsa Yang Diulang-ulang
Kisah
tujuh ayat yang diulang-ulang (sab’an min
al-matsany) sering dimaknai sebagai “tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang”. Sebenarnya secara harfiah lebih tepat diartikan “tujuh yang
berulang-ulang”, karena tidak ada kata “ayat” pada istilah tersebut. Karena
diterjemahkan dan ditafsirkan dengan “tujuh yang berulang-ulang”, maka
kebanyakan orang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’an min al-matsany adalah Al fatihah yang berisi 7 ayat. Tafsir
lain mengatakan tujuh surat-surat panjang dalam Al-Quran yaitu Al-Fatihah,
Ali-Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf, Al-Anfal dan At-Taubah.
Mari
kita cerdasi istilah sab’an min
al-matsany tersebut menurut pandangan Al-Quran. Semua Rasul diutus untuk menyeru
manusia kembali menghamba kepada Tuhan Semesta Alam, seruan itu menjadi kabar
gembira bagi mereka yang mau mendengarkan dan mengikuti seruan itu, dan menjadi
peringatan (indzar) bagi mereka yang mendustakan
bahkan memerang terhadap seruan itu[1]. Namun kenyataannya bangsa-bangsa
dimana Rasul diutus selalu membantah dengan cara batil bahkan memerangi misi
risalah yang dibawa Rasul, maka berlakulah hukum Tuhan, bangsa-bangsa itu pun
dibinasakan[2].
Fungsi dan peranan kitab-kitab Tuhan adalah dalam konteks pemberi kabar gembira
dan peringatan tersebut.
Kisah
Bangsa-bangsa yang mendustakan Nabi dan Rasul yang diutus kepada mereka selalu
diulang-ulang di dalam Al-Quran. Pengulangan itu tentu bukan sesuatu yang
nirguna ataupun tanpa maksud. Tuhan mengulang-ulang peringatan itu agar menjadi
pelajaran bagi manusia. 7 Bangsa itu adalah Bangsa Nuh, Bangsa ‘Aad, Bangsa
Tsamud, Bangsa Ibrahim (Babelonia), Bangsa Sodom, Bangsa Madyan, Bangsa Mesir
(Fir’aun). Yang ditentang oleh
bangsa-bangsa itu adalah warta utama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul itu, yaitu
menyeru untuk beriman kepada Allah saja, sebagai langkah untuk menegakkan tata
kehidupan fitrah yaitu sistem pengabdian kepada Allah dan menjauhi segala
bentuk pengabdian selain kepada-Nya.
Isme Bangsa Sodom
Nabi
Luth adalah putra dari Haran, saudara laki-laki Nabi Ibrahim. Luth mengimani dan
mengikuti Nabi Ibrahim. Mereka memimpin orang-orang beriman keluar dari Negeri
Babelonia setelah Bangsa Babelonia menolak dan mengusir dakwah mereka. Setelah
dari kota Haran Ibrahim dan Luth berpisah, dimana Ibrahim meneruskan dakwahnya
ke Kana’an sementara Luth meneruskan dakwahnya ke Sodom di lembah Yordan. Dakwah
Nabi Luth sangat bertentangan dengan apa yang diyakini dan diperjuangkan
sebagai kebenaran di negeri Sodom. Prinsip-prinsip kehidupan tauhid yang
didakwahkan Nabi Luth dianggap menjadi antitesis yang dapat mengancam
sendi-sendi kehidupan kebangsaan Sodom. Demikianlah seorang Nabi dan Rasul selalu
diutus kepada Bangsa yang memang sudah jauh meninggalkan cara hidup yang benar
menurut Tuhan.
Manusia
adalah makhluk sosial, cara hidupnya selalu dibangun di atas dasar yang disebut
nilai, falsafah hidup ataupun ideologi. Maka ketika melihat penyimpangan oleh
suatu bangsa perlu dilihat secara struktural, bagaimana ideologi yang diyakini
bangsa itu[3]. Hal ini bisa dilihat dari
statement Nabi Luth yang mengatakan “ini putri-putriku, mereka lebih suci bagimu,
maka bertakwalah kepada Allah”. Kata “lebih suci” mengacu kepada ajaran yang
didakwahkan Nabi luth yaitu isme Tauhid yang mengajak Bangsa Sodom untuk
meninggalkan ideologi dan cara hidup sekuler yang kotor. Satu-satunya kata
najis di dalam Al-Quran merujuk kepada perilaku syirik[4], yaitu gaya hidup sekuler
yang mengarahkan manusia untuk berilah kepada ilah-ilah lain selain Allah. Semua
isme buatan manusia seperti kapitalisme, liberalisme, sosialisme, komunisme,
fasisme, isme kebangsaan dan isme-isme lainnya bersumber dan bermuara kepada
hawa nafsu dan syahwat manusia.
Isme-isme
ini selalu mengajak untuk mendasarkan hidup kepada kepuasan materi (kebahagiaan
secara darah dan daging) di satu sisi. Dan sekaligus menafikan tujuan
penciptaan manusia yaitu hanya mengabdi kepada Sang Pencipta di sisi lainnya.
Mengabdi hanya kepada Sang Pencipta hanya bisa dilaksanakan dengan cara mengoperasionalkan
segala undang-undang kehidupan dari Allah dalam kehidupan manusia, itulah yang
akan menjaga manusia tetap pada fitrahnya yaitu menjadi wakil-wakil Allah yang mewujudkan
keadilan, kemakmuran, kedamaian dan kesejahteraan di bumi sebagai jannah Allah.
Hanya dengan cara seperti inilah terjadi kesatu-paduan harmonis antara Allah
sebagai Sang Pencipta, Alam Semesta dan manusia sebagai hamba.
Tanpa
framework yang demikian manusia pasti akan mengeksploitasi alam, menindas
manusia lain, menjajah bangsa lain baik dengan mengatasnamakan Tuhan maupun
mengatasnamakan yang lain. Itulah kehidupan syirik, kehidupan yang rendah (hayatiddunya). Kehidupan syirik inilah
yang dikategorikan sebagai kezaliman besar sebagaimana disitir Al Quran Surat
Al Luqman ayat 31, "Sesungguhnya syirik atau sekulerisme adalah kedzaliman
yang besar". Syirik adalah model kehidupan yang menandingi peran Allah
dalam kehidupan manusia dan alam semesta. Peran Allah sebagai Pengatur yang memiliki aturan/hukum
(Rabb), sebagai Penguasa (Malik),
dimana seluruh bumi ini adalah kekuasaanNya dan sebagai Yang Ditaati (Ilah) dinegasikan oleh manusia. Alih-alih tunduk
kepada peran Allah, manusia justru merebut kursi Allah, demi kepentingan
mereka, memposisikan diri mereka selaku Rabb, Malik, Ilah dan menandingi Allah,
entitas yang sebenarnya dipuja dan disembah di dalam ritual-ritual mereka. Nama
Allah selalu disebut dalam peribadatan namun dilupakan sama sekali dalam
mengelola kehidupan nyata yang mengatur relasi manusia dengan manusia dan
manusia dengan makhluk lainnya (alam semesta), yang sering disebut
ipoleksosbudhankam. Inilah perilaku yang sangat dibenci dan tak terampuni.
Manusia
lupa atau bahkan tidak mengenal bahwa Dia adalah Allah yang cemburu. Sangat
logis bila Allah tidak mau diduakan, karena Dialah yang menciptakan manusia dan
alam semesta tempat manusia hidup, yang memeliharanya, yang mengaturnya, yang mendidiknya[5]. Tidak boleh ada satu pun
makhluk yang boleh menjadi pemilik atau raja dari makhluk lainnya. Semua
makhluk harus tunduk kepada kekuasaan Sang Pemilik, Raja Langit dan Bumi.
Khusus kepada manusia cara tunduk kepada Allah sudah ditetapkan secara tertulis
di dalam Kitab-kitabNya, ini berbeda dengan makhluk lain yang memang sudah built-in sejak pertama diciptakan tidak
ada pilihan lain melainkan hanya menaatiNya.
Dakwah
Nabi Luth dibaca sebagai ancaman, pergerakan Nabi Luth dianggap sebagai upaya
untuk makar dan merebut kekuasaan politik Bangsa Sodom. Maka masyarakat Sodom menolak
seruan Nabi Luth bahkan bermaksud mengusir Nabi Luth pengikutnya jika mereka
tidak menghentikan dakwah yang dianggap membuat keresahan di Sodom[6]. Perilaku tidak fitrah
dari para pemimpin negeri Sodom yang ditekankan untuk menjadi pelajaran dari
qashas ini bukanlah perilaku seksual yang menyimpang. Namun perangai politik
mereka yang menolak misi risalah Nabi Luth bahkan memerangi mereka dengan penuh
kebencian. Peringatan Nabi Luth dan pengikutnya tidak digubris, kekuasaan
dipergunakan sebagai alat untuk memuaskan nafsu syahwat politik mereka. Kondisi
rakyat tidak diperhatikan, kemiskinan merajalela, baik kemiskinan dalam arti
ilmu maupun kemiskinan dalam arti materi. Kemiskinan ilmu, nalar, kritisisme
dan pengetahuan dipertahankan agar rakyat bungkam dan tunduk, sedang miskin
secara materi adalah konsekwensi dari pengutamaan kelas elit.
Mereka
mengutamakan kepentingan sesama jenis, yaitu dalam arti sesama elit (politik
dan ekonomi). Dalam bahasa sekarang adalah oligarki yaitu sistem kekuasaan yang
dijalankan dan dikendalikan oleh kelompok elit demi kepentingan kelompok mereka
sendiri. Dampak dari dibajaknya kekuasaan oleh segelintir elit demi kepentingan
mereka sendiri pastinya adalah ketidakadilan, kesenjangan ekonomi yang ekstrem,
penyalahgunaan kewenangan, korupsi, ekstraksi sumber daya alam, penindasan dan
eksploitasi atas rakyat dan lain sebagainya. Itulah tanda-tanda kehancuran
sebuah negeri, diawali ketika para elit politiknya yang disimbolkan sebagai “lelaki”
seharusnya mengayomi rakyat (“perempuan”), namun mereka tak lagi berhasrat
melindungi dan mengayomi rakyat melainkan melindungi dan mengayomi sejenisnya
yaitu para elit baik elit politik, elit militer, dan para konglomerat.
Saksi Bisu Situs Sodom
Sejak 2005, para ilmuwan mencari kota yang
hilang itu.mereka melakukan ekskavasi di Tall el-Hammam, Yordania. Mereka
berhasil menemukan puing-puing kota dari Zaman Perunggu di Tall el-Hammam. Setelah
ribuan tahun, Wilayah yang terletak di timur Sungai Yordan itu diyakini menjadi
lokasi reruntuhan Kota Sodom yang dilaknat itu. Para ilmuwan yakin Kota Sodom
dan juga Goromah terletak di lembah Sungai Yordan, sebelah utara Danau Mati.
Sodom diyakini sebagai kota yang besar, makmur, dan menjadi pusat perdagangan
semasa jayanya. Reruntuhan yang diduga sebagai Kota Sodom itu sangatlah luas.
Diyakini sebagai kota terluas di wilayah itu, lima hingga sepuluh kali luas
kota-kota di sekitarnya.
Steven Collins, ilmuwan Trinity Southwestern
University, New Mexico, Amerika Serikat, yang memimpin penelitian tersebut
mengklaim, timnya menemukan bukti adanya kota yang diperluas, dilengkapi
dinding pertahanan dari bata merah dengan tebal 5,2 meter dan tinggi 10 meter. Tembok ini dilengkapi dengan gerbang,
menara pengawas, dan setidaknya satu jalan. Bagi para peneliti, dinding ini
menjadi bukti bahwa kota itu terus diperluas dan diperkaya. Selama pertengahan
Zaman Perunggu, tembok ini digantikan dengan benteng yang lebih besar. Lebar 7
meter, bagian atas datar, dan difungsikan sebagai jalan yang melingkari kota.
Tall el-Hammam, tambah Collins, sangat cocok dengan Kota Sodom yang digambarkan
di dalam kitab suci, sebagai kota terbesar yang subur di timur Kikkar pada zaman
Perunggu, pada masa Ibrahim.
Penemuan situs sejarah yang diyakini sebagai
jejak negeri Sodom di lembah Yordan merupakan bukti bahwa qashas (kisah
sejarah) yang diceritakan di dalam kitab-kitab Allah bukanlah mitos, legenda
atau dongeng orang-orang dulu (asathirul awwalin), tetapi kisah nyata, bisa
dibuktikan secara historis[7].
Dari kisah-kisah itu beberapa diantaranya masih ada bekas-bekasnya dan
diantaranya sudah musnah. Untuk apa kisah yang sudah lama terjadi itu
dihadirkan ulang hampir dalam seluruh kitab-kitab Allah? Agar menjadi pelajaran
bagi manusia, karena kecenderungan manusia hanya melihat apa yang ada di
depannya secara kacamata kuda, lalai membaca kekuatan-kekuatan yang
menggerakkan sejarah. Pada kisah-kisah itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang berakal. Mereka bukanlah cerita yang dibuat-buat, dikarang-karang, akan
tetapi menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk bagi orang beriman. Ada
hukum baja yang menggerakkan dan menjadi esensi dari sejarah peradaban manusia.
Itulah Sunnatullah, tanpa mengetahuinya manusia akan seperti pasir di sungai
besar yang hanya akan terbawa arus, tanpa mengetahui dari mana dan akan mana
arah kehidupan ini digerakkan. Padahal manusia dikarunia akal pikiran, yang
dengannya ia seharusnya mampu menjawab dengan tuntas pertanyaan-pertanyaan
mendasar siapakah dirinya, siapakah yang menciptakannya, untuk apa, dan
seterusnya.
[1] Lihat
Al-Quran Surat An-Nisa ayat 165, Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 15.
[2] Lihat
Al-Quran Surat Al-Kahfi ayat 56.
[3] Lihat
Al-Quran Surat Hud ayat 78, disitir bahwa Negeri Sodom sejak dahulu melakukan perbuatan keji (Assayyiat),
yaitu kejahatan yang menjadi lawan dari sikap iman (Al-Quran Surat Al-Jatsiyah
ayat 21), lawan dari iman di dalam Al Quran adalah syirik.
[4] Al-Quran
Surat At-Taubah ayat 28
[5] Baca
Al-Quran Surat Fathir ayat 40, dengan bahasa yang indah Allah menyindir
manusia, “Bagian manakah dari Bumi yang telah mereka ciptakan, Ataukah mereka
mempunyai andil dalam penciptaan langit.” Jika tak ada andil sedikitpun, bahkan
seekor nyamukpun manusia tidak dapat menciptakan maka mengapa manusia hendak
mengatur sesuatu yang mereka tidak ciptakan bahkan tidak mengetahui ilmunya?
[6] Al-Quran
Surat Al A’raf ayat 82
[7] Al-Quran
Surat Hud ayat 100-104
0 Komentar