PERTAMA kali istilah demokrasi-tong-setan saya dapatkan dari Caping-nya Gunawan Muhammad awal 2013 silam. Tulisan berjudul Selebritas itu terekam dalam memori saya sebagai bahasan tentang krisis demokrasi di mana aktor-aktornya kehilangan diri sejati dan menjadi “diri” yang diinginkan pihak lain sebagai penentu apa pun tetapi invisible hand.
Adanya rumor
yang beredar bahwa para pelaku demokrasi—yakni para politisi—adalah aktor yang
dikendalikan oleh sutradara atau paling tidak “bebas” tetapi dalam koridor
naskah cerita yang sudah ditentukan. Yang teriak di medsos we have not President saat ada kebijakan yang dianggap tidak pro
rakyat, kiranya orang-orang yang percaya rumor ini.
Sukarno yang
lengser, pelengserannya konon dinahkodai CIA karena sebagai aktor, beliau tidak
lagu tunduk pada sutradara internasional. Tidak saja enggan membayar hutang
peninggalan Belanda, Presiden kharismatik ini juga ingin membuat PBB sendiri.
Berikutnya
adalah jatuhnya Suharto. Banyak yang mulai ragu bahwa orang sekelas Suharto
yang pernah menjadi “kuda hitam” penentu politik Indonesia khususnya dan Timur
pada masa itu bisa dijatuhkan oleh mahasiwa. Bukankah Suharto dikenal bertangan
dingin? Konon gelar the smiling general
bermakna jendral yang bisa membunuh musuh sambil tersenyum. Lalu mengapa
mahasiswa tidak dibubarkan saja dengan gas air mata, dengan timah panas, atau
tank lapis baja? Bukankah TNI juga masih setia kepadanya?
Ok, kalau memang
Suharto berhasil dilengserkan oleh mahasiswa. Pertanyaanya, mengapa setelah
beliau turun justru makin banyak Suharto-Suharto lain bermunculan? Apakah Orde
Baru itu hanya Suharto dan Harmoko? Bagaimana dengan orang-orang dekat beliau
yang berganti baju menjadi tokoh reformasi dan melanjutkan rezim yang
sesungguhnya? Suharto boleh lengser, tetapi rezim tetap bisa berjalan tanpanya.
Saat itu
muncullah kelakar: jika jaman Orla korupsi dilakukan di bawah meja, jaman Orba
di atas meja, jaman reformasi mejanya ikut dikorupsi.
Selanjutnya
kelengseran Gus Dur. Buku tulisan Virdika Rizky Utama cukup
menggembirakan sekaligus membuat geram Gusdurian. Gembira karena teka-teki
seputar pelengseran beliau banyak ditemukan jawabnya, bagi yang yakin tentu
saja. Geram karena idola mereka benar-benar didzalimi oleh orang-orang yang
selama ini berseliweran di depan mata dengan pasang muka innocent.
Istilah pasang
muka innocent tentu perlu kita
setujui jika sepakat dengan pertanyaan: memang ada, politikus yang bersih?
Entah berapa
persen penduduk republik ini yang memahami betapa demokrasi di sini sedang
tidak baik-baik saja. Kira-kira mereka adalah orang-orang yang tidak
diuntungkan dengan kebijakan atau keberadaan pemerintah yang sekarang. Dan
tentu saja pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan sendiri.
Mungkin perlu
ditunggu, bagaimana tong demokrasi akan terus beraksi atau akan terhenti suatu
saat entah itu jeda ganti aktor, atau berhenti untuk selama-lamanya karena tong
nya jebol misalnya.
Munculnya
raja-raja baru ditangkis oleh Anhar Genggong bahwa tidak mungkin republik ini
berubah menjadi kerajaan. Lalu berubah menjadi komuniskah? Atau demokrasi
liberal kapitalis ini memang adalah final sebagaimana dikatakan Francis
Fukuyama? Entahlah. Yang jelas komunisme ternyata berkembang dan luput dari analisa
Fukuyama.
Dan bukankah
pernah ada dalam memori manusia bahwa apa yang direncanakan, diprekdisikan oleh
para ahli pada akhirnya berbeda dan meleset? Apakah wabah yang mematikan 50%
penduduk Eropa tempo dulu adalah ulah invisible
hand yang menyutradarai demokrasi tong setan? Atau sesungguhnya ada tong
yang lebih besar yang dikendalikan oleh invisible hand lain yang lebih tidak
kelihatan pula? Jika demikian, demokrasi tong setan yang ada bisa saja digulung
dan lenyap berganti tong-tong lain yang dibuat oleh Sang Maha invisible hand.
Mungkin di luar
tong-tong itu terdapat tong yang maha besar yang diam-diam mewadahi semua tong
di semesta raya ini. Dan kita yang bertengkar, bertabrakan, serta saling serang
dengan segala senjata hard hingga
virus super kecil hanyalah setitik debu di antara milyaran tong demokrasi atau
apa pun yang pernah dan akan mengada. [.]
0 Komentar