“Panca Sila itu tidak ada,” kata Sujiwo Tejo di ILC TvOne. Sang budayawan nampaknya ingin agar apa yang tertulis, apa yang terkatakan, apa yang dicita-citakan bersama betul-betul menjadi kenyataan. Dan kenyataan itulah yang tidak ada. Atau paling tidak jauh dari ideal.
Tidak lama kemudian
setelah kata-kata Sujiwo Tejo itu menggema di hati pemirsa, terkuak kasus
korupsi trilyunan rupiah ASABRI dan lain-lain. Mungkin peristiwa itu yang
mengilhami pembuat gambar dan menyebarkannya di Intagram. Garmbar seorang yang
sedang naik sampan itu ditulisi “Nenek Moyang Kita Seorang Pelaut atau
Koruptor?” Pelaut mungkin bisa diajari hidup ber-Panca Sila, tetapi koruptor
mungkin tidak. Orang-orang yang sudah kehilangan nurani sepertinya sudah tidak
tertarik dengan keluhuran budi pekerti.
Sebelum Panca Sila
Jauh sebelum Panca Sila
lahir di awal sejarah Indonesia modern, nenek moyang kita yang entah pelaut
atau koruptor atau apa pun, sudah mempunyai “Panca Sila” yang merupakan
kekayaan batin mereka. Kekayaan yang membuat mereka dapat berbahagia meski
tidak harus mencuri milik siapapun dalam jumlah berapapun. Panca Sila yang
merupakan watak dan perilaku terpuji ajaran nenek moyang.
Satu, rila. Maknanya tulus iklas sepi pamrih
menyerahkan segala milik, segala karya, dan bahkan kekuasaan kepada Gusti
Pencipta Semesta Alam. Semua dengan kesadaran bahwa segalanya ada dalam
genggaman kuasa-Nya. Modal rila ini membuat leluhur kita tahan dengan
kesengsaraan, kuat menghadapi fitnah, dan tidak merasa nelangsa dan sedih
berlebihan meski kehilangan harta dan keluarga.
Dua, narima. Artinya menerima dengan lapang dada dengan nasib yang
menimpanya. Pandai bersukur dan puas dengan pemberian Gusti. Sikap ini
menjadikan orang tidak rakus atau serakah, tidak pura iri dengan kebahagiaan
orang ataupun menginginkan milik orang lain.
Tiga, temen. Menepati janji. Kata-katanya
dapat dipegang karena sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya. Orang yang
temen tidak akan menipu diri sendiri dengan tidak menepati kata hatinya dan
tidak akan berdusta dengan ingkar janji.
Empat, watak/
momot/ sabar. Maksudnya mampu
menampung segala persoalan laksana lautan menampung air. Tahan menghadapi
cobaan dengan tetap berusaha pantang menyerah. Makna lainnya adalah luas
pengetahuan atau tidak picik.
Lima, budi luhur. Sebuah capaian yang tinggi
setelah mampu menguasai empat sila sebelumnya. Pada tingkatan ini manusia sudah
mencapai tahap paripurna di mana seluruh hidupnya digunakan untuk
mengejawantahkan sifat atau nama Gusti Yang Maha Mulia. Pancaran kasih sayang
terhadap sesama, kesucian diri, adil terhadap diri dan orang lain, memelihara
tata krama dan tata susila, serta bijak sana.
Tentu wajar sebuah bangsa
dikatakan luhur atau mempunyai budaya adi
luhung karena bermodal lima sila tersebut. Sila-sila yang tidak tercetak
dan di pajang di tiap-tiap rumah, tetapi menjadi praktek amal kesehariannya.
Tanpa lima sila tersebut
sebuah bangsa mungkin akan mengalami kerendahan dalam derajat kemanusiaan.
Kerja sedikit berbuah pencitraan, kerakusan dan keserakan merajai pikiran,
janji hanya tinggal janji, pikiran sempit dan mudah marah, serta kerendahan
budi mewabah dalam masyarakatnya.
Setelah Panca Sila
Berat. Sepertinya bangsa
ini tidak mampu memikul lima sila yang diwasiatkan para pendiri bangsa. Mungkin
hingga kiamat nanti, jika seluruh warganya tidak serius melakukan perubahan,
Panca Sila hanya menjadi tulisan dan hafalan anak-anak SD.
Bagaimana kita mau
ber-ketuhanan Yang Maha Esa jika cinta uang melebihi segalanya sehingga dalam
kesadaran yang ada adalah Keuangan Yang Maha Utama. Tuhan benar-benar
diperlakukan sebagai pelengkap penderita, dan bukan di atas segala-galanya.
Bangsa yang mengaku sebagai hamba Tuhan tapi sekaligus menghamba pada berhala
uang.
Bagaimana mungkin
mewujudkan kemanusiaan jika kebinatangan masih menguasai kita. Seorang
terpelajar mestinya mampu adil sejak dalam pikiran. Tetapi yang terjadi para
kaum terpelajar banyak yang sudah tidak organik dan membela siapa yang bayar
(kembali ke sila Keuangan). Diskusi di medsos dan televisi sering menjadi debat
kusir, saling hujat, dan bahkan unjuk kebiadaban.
Bagaimana kita akan
bersatu kalau kita hobi bertengkar dan ingin menang sendiri. Partai-partai
seolah ingin agar Indonesia bagian dari partanya, dan bukan sebaliknya.
Bagaimana mungkin
demokrasi akan membawa kemakmuran bersama jika prakteknya adalah oligarkhi.
Sementara rakyat ingin suaranya di beli, dan pembeli suara ingin cepat balik
modal dan untung maksimal. Kemudian hikmah kebijaksanaan melahirkan
kebijaksinian.
Bagaimana keadilan sosial
akan mewujud jika terlalu banyak penduduknya bahkan para hakim tidak bersikap
adil karena tidak tahan suap.
Bagaimana nasibmu Panca
Sila, bagaimana?
0 Komentar