Judul buku : Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung
Penulis : Siti Fadilah Supari
Penerbit : SWI, Jakarta, 2008
Tebal buku : 204 halaman
Dengan mantap
Siti Fadilah menulis: “Ternyata kapitalisme tidak saja mengeksploitasi kekayaan
alam negara yang sedang berkembang, tetapi juga mengeksploitasi kekayaan tubuh
manusia dari bangsa-bangsa yang tidak berdaya. Mereka ambil darah kita. Mereka
ambil sel-sel tubuh kita. Dan mereka ambil antibodi kita. Dan yang paling
berbahaya mereka telah mengambil sel-sel otak kita untuk direkayasa dengan cara
berpikir mereka, sehingga kita harus menuruti saja apa perintahnya.” (Hlm.117).
Sebuah
keberanian, kegigihan, atau bahkan kenekatan seorang menteri dari negara
“inverior” bernama Indonesia untuk melawan ketidakadilan yang telah terjadi
selama puluhan tahun. Bagi Fadilah, World
Health Organization pada ketika itu menjadi kepanjangan tangan kapitalisme
yang tidak pro kemanusiaan dan keadilan.
Badan kesehatan
dunia atau WHO dibentuk oleh PBB pada tahun 1947 yang bertindak sebagai
koordinator kesehatan umum internasional dan bermarkas di Jenewa, Swiss. Tujuannya
jelas: agar semua orang mencapai tingkat kesehatan tertinggi yang paling
memungkinkan dengan tugas utamanya membasmi penyakit, khususnya penyakit
menular yang sudah menyebar luas.
Mungkin semua
negara anggotanya percaya sepenuhnya kepada organisasi global itu tanpa
bertanya apalagi mengkritisi, kecuali Indonesia melalui menteri kesehatan
perempuannya. Sosok “titisan” Soekarno yang anti neokolonialisme dan dengan
mudahnya menscreening perilaku WHO terkait kebijakan virus nya. Sosok yang
tidak kehilangan perbendaharaan kata: kemanusiaan, perjuangan, lawan, equity,
berdikari, berdiri sama tinggi duduk sama rendah.
Buku seorang
mantan menteri kesehatan ini jelas membuka kenyataan betapa dunia dikuasai
rezim yang tidak pro kemanusiaan, tidak pro keadilan, dan hanya mau untung
sendiri.
Keadilan bagi
Siti adalah ketika virus yang dikirim oleh Indonesia dan negara lain yang terkena
wabah yang umumnya negara berkembang ke WHO CC mempunyai aturan yang saling
menguntungkan. Entah siapapun nanti yang membuat Vaksin—biasanya negara kaya
atau swasta—negara pengirim yakni si pemilik virus tetap mempunyai hak atas
faksin itu sebab secanggih apa pun alat atau sumber daya pembuat faksin tidak
akan bisa jalan tanpa adanya virus dari pemilik.
Peraturan yang
sudah berjalan 50 tahun dilihat Siti tidak adil karena negara pemilik harus
menyerahkan virus tanpa sarat kepada WHO CC dan ketika vaksin sudah jadi,
negara pengirim yang terkena wabah harus membeli dengan harga mahal. Resikonya
semakin mengerikan ketika negara-negara kaya yang punya uang lebih dulu membeli
vaksin tersebut bahkan sekedar untuk koleksi karena mereka tidak terkena wabah.
Resiko ini bagi Siti adalah hal yang tidak manusiawi. Maka bagi beliau, negara
yang terkena wabah harus didahulukan apakah punya duit banyak atau tidak.
Sistem
kapitalistik yang terjadi membuat pihak pembuat virus dapat memperkaya diri
dengan menjual vaksin di atas penderitaan negara berkembang atau negara miskin
yang terkena wabah. Padahal, selalu ditegaskan Siti, vaksin itu berasal dari
virus negara yang terkena wabah. Jika pemilik vaksin tidak memberikan secara
gratis maka pemilik virus pun berhak membuat kesepakatan dengan calon pembuat
vaksin.
Dengan pedas
Fadilah berkata, “Uhh, dasar
kapitalisme tolol membodohi bangsa yang tidak tahu, bangsa yang bodoh dan
terbelakang bukan berarti menjadi sumber pendapatan bagi bangsa yang maju. Ilmu
pengetahuan yang maju bukan untuk menipu bangsa yang belum maju. Ilmu
pengetahuan yang maju hendaknya untuk mensejahterakan umat manusia, bukan untuk
menjajah umat manusia yang tidak berdaya. Dasar pemikiran kapitalistik yang
mestinya tidak berlaku lagi bila dunia
ini menghadapi Global Health Security.”(Hlm.117).
Ditambah lagi,
negara-negara pengirim tidak tahu pasti akan diapakan virus itu oleh siapa
selain untuk membuat vaksin. Rumor yang beredar virus itu dibuat sebagai bahan
senjata biologis. Mengerikan!
Kecurigaan tentu
bukan tidak berdasar. Data dari DNA virus
strain Indonesia tiba-tiba sudah berada di Laboratorium Los Alamos. Hlm.120
Di laboratorium inilah dirancang Born Atom untuk mengebom Hiroshima di tahun
1945. Tampaknya laboratorium ini termpat riset dan pembuatan senjata kimia di
USA. (Hlm.17).
Negara-negara
yang mengalami outbreak Flu Burung
pada manusia "harus" menyerahkan virus H5Nl ke WHO CC, dan hanya
"disuruh" menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim
tersehut. Tetapi setelah itu negara pengirim tidak pernah tahu. Diapakankah
virus tersebut, dikirim kemanakah virus tersehut, dan apakah akan dibuat vaksin
atau hahkan jangan-jangan akan diproses menjadi senjata biologi(?). (Hlm.11).
Kita pantas
berbangga bahwa perjuangan Siti Fadilah ahkirnya membuahkan hasil. Sidang IGM
di Jenewa yang terakhir, atas persetujuan hampir semua negara di dunia, GISN
tidak mendapat tempat lagi di WHO. Pendistribusian vaksin untuk stockpiling
yang diatur oleh WHO, harus mengutamakan affected
country (negara yang terjangkit Flu Burung).
Permasalahan
virus sharing H5N1 akan beres bila aturan main virus sharing itu adil,
transparan dan setara, maka akan terwujud keseimbangan antara negara yang kuat
dan negara yang lemah.
Dulu, negara miskin
yang terjangkit penyakit akan cenderung menjadi semakin lemah ·dan semakin
miskin. Namun sekarang, negara miskin yang terjangkit mempunyai hak untuk
mengatasi keadaannya tanpa "charity" dari negara kaya. Karena, negara
miskin yang terjangkit memperoleh "sharing benefit" atas setiap virus
sharing berdasarkan hak yang dilindungi hukum. Sehingga negara miskin akan
senantiasa terjaga kedaulatannya. Dan negara kaya pun tidak akan tertarik lagi
merekayasa virus baru. Karena keuntungannya secara komersial tidak menjanjikan
lagi. Maka, akan terjadilah keseimbangan di dunia. Terjadilah keseimbangan yang
berkelanjutan. (Hlm.169).
Kejadian di atas
tentu bukan saja di dunia kesehatan melalui WHO sebagai tangan kuasanya, tetapi
juga dalam bidang lain seperti keuangan dan perbankan, pertanian, dan
sebagainya. Maka sangat patut dipertanyakan apakah hari ini manusia sedang
hidup di sistem terbaik dunia dan final.
Konon buku yang
membongkar kelakuan buruk WHO tersebut ditarik dari peredarannya khususnya
edisi bahasa Inggris di luar negeri. Tapi yang jelas kita dapat menikmatinya
karena kini sudah tersebar luas dan dapat dibaca dalam bentuk PDF.
Judul buku yang
berani itu memang pantas untuk diberangus mengingat merugikan orang-orang yang
diuntungkan. Dan mereka tentu tidak akan tinggal diam, atau paling tidak segera
membuat rencana lain yang tidak kalah menguntungkan pundi-pundi kekayaan
mereka. Mungkin bagi mereka keadilan dan
kemanusiaan adalah omong kosong belaka.
Sahdan. Hingga
tulisan ini dibuat, sang penulis buku tersebut masih mendekam di penjara di
usianya yang sudah 70 tahun. Semoga buku ini juga dibaca oleh para Sukarnois,
sehingga mungkin tidak perlu menunggu munculnya pejuang dari keluarga Bung
Karno sendiri yang pro kemanusiaan yang mendunia atau paling tidak pejuang yang
anti neokolonialisme, yang serius berjuang agar negara yang didirikan bapak
moyangnya berdikari di atas kaki sendiri, sederajat dengan bangsa lain dan
merdeka 100%.
0 Komentar